19 Juli, 2007

Posisi saya di mana?


Alhamdulillah.


Sudah seharusnya kita bersyukur dalam setiap kucuran detik. Orang yang tidak bersyukur itu orang tidak tau diri. Kalau tidak tau diri berbahaya, bahayanya tergantung kadarnya. Ambil contoh, bernafas. Setiap tarikan nafas berarti anda bersyukur. Kapan anda dengan sengaja berhenti menarik nafas, itu tandanya anda menantang Tuhan dan tidak bersyukur. Pesan saya, khusus yang satu itu, bersyukurlah sesyukur-syukurnya.


Tulisan ini diilhami oleh tatapan mata saya ke onggokan buku di ruang kerja saya. Saya terbawa nostalgia. Di antara onggokan itu ada sederet buku karya seorang penulis yang saya sangat kagumi, Robert T. Kiyosaki. Yah, orang ini sangat fenomenal. Tulisannya mengenai 'Rich Dad Poor Dad' diklaim oleh banyak pembaca dan pendengar kata-katanya sebagai 'inspiring & life changing!'. Saking kagumnya saya terobsesi atas semua yang memuat namanya. Bahkan tidak satupun dari bukunya yang terbit di Indonesia saya lewatkan, paling tidak sampai ketika saya masih menggolongkan diri sebagai 'murid'nya.


Apa sekarang saya tidak kagum lagi?


Sekarang beda. Dulu kekaguman saya karena merasa saya sudah diajarinya dan saya mengikuti ilmunya. Sekarang juga masih kagum, tapi dalam nuansa yang lain. Saya kagum karena ternyata semakin setia menjadi muridnya, semakin banyak pertanyaan yang muncul dan tidak terjawabkan oleh ajarannya. Ini mengantarkan saya ke perenungan lanjutan.


**********


Cashflow Quadrant-nya Kiyosaki


Sederhana saja saya paparkan. Salah satu teori Kiyosaki yang fenomenal adalah tentang Cashflow Quadrant. Teori ini menjelaskan 4 jenis (atau kwadran) orang ditinjau dari caranya menghasilkan uang. Dari keempat jenis ini, 2 jenis dimasukkan sisi kiri kwadran, 2-nya lagi dimasukkan ke sisi kanan kwadran.


Nah, di sisi kiri kwadran, ada Golongan E = Employee atau bahasa gampangnya 'orang yang makan gaji' dan bekerja untuk pihak lain. Karyawan swasta, pegawai negeri, atau sektor non formal lain yang makan gaji atau upah, masuk dalam golongan ini. Kata Kiyosaki, orang golongan E penghasilannya terbatas sebatas gajinya, dan biasanya lebih banyak gigt jari ketika bicara mimpi-mimpi yang melibatkan penggunaan uang untuk mewujudkannya.


Masih di sisi kiri kwadran, ada Golongan S = Self-employed, yang diartikan golongan pekerja lepas. Golongan ini lebih maju daripada golongan E. Dalam artian, dari segi penghasilan, golongan pekerja lepas, atau orang yang tidak bekerja pada pihak lain, biasanya memiliki penghasilan lebih tinggi. Hanya saja orang golongan S kebanyakan bergantung pada kelebihan yang ada pada dirinya untuk dijual, atau 'jual diri' dalam artian bagus. Contoh, pengacara yang menjual jasa hukum, penyanyi yang menjual merdu suaranya, dokter yang menjual pengetahuan medisnya, akuntan yang menjual pengetahuan 'hitung-hitung uang', dan lain-lain. Nah, anda lihat, orang golongan ini bisa menghasilkan uang banyak. Tapi kata Kiyosaki, dari segi kebebasan waktu, mereka tidak fleksibel. Kalau mereka 'tidak jualan' tidak ada uang masuk.


Dua golongan di atas, masuk sisi kiri kwadran, menurut teori Kiyosaki memiliki potensi penghasilan terbatas. Makanya secara finansial disebut tidak bebas (financially not free).


Selanjutnya di sisi kanan kwadran. Ada Golongan B = Business Owner. Dari terjemahan langsung saja anda bisa mengerti bahwa orang golongan ini adalah orang yang memiliki bisnis. Pemilik bisnis justru mempekerjakan golongan E. Orang golongan ini tidak perlu khawatir tentang bisnisnya karena ada golongan E yang mengelolanya. Dalam bahasa Kiyosaki, golongan ini memiliki sistem kerja dan orang-orang yang berkerja untuk mencarikannya uang. Potensi penghasilannya bisa tidak terbatas.


Masih di sisi kanan kwadran, adalah Golongan I = Investor. Mereka adalah para pemilik modal atau uang. Uang tersebut, kemudian bekerja lagi untuknya, untuk mencarikan sesamanya uang. Singkatnya, dia punya uang yang akan mencari uang juga. Sedaaaaappp.......Contohnya para investor di bursa saham, atau orang-orang yang memang kerjanya memutar modalnya.


***********


Nah antara sisi kiri dan sisi kanan, sangat berbeda. Sisi kiri adalah golongan yang tidak bebas secara finansial (financially not free). Sisi kanan sebaliknya, mereka bebas secara finansial(financially free). Kalau orang sisi kiri cari restoran lihat kantong dulu baru masuk, maka sisi kanan tidak pake lihat kantong, asal suka suasana atau menunya, masuk saja. Itu mungkin gambaran sederhana betapa bebasnya orang sisi kanan kwadran secara finansial.


Teori ini inspirasional. Buktinya saya juga dulu memutuskan tidak mau jadi orang gajian sedikit banyak karena membaca teori ini. Saya mau bebas secara finansial. Saya mau masuk sisi kanan kwadran. Akhirnya, beginilah saya..............(kalau mau tau saya bagaimana, sudah bebas secara finansial atau belum, mampir dong ke rumah.....)


***********


Di bagian pembukaan saya bilang kekaguman saya ke Kiyosaki sudah berbeda nuansanya. Latar belakangnya ada.


Semakin saya mengejar kebebasan finansial, sangat jelas di dalam kepala saya bahwa uang menjadi motivasi utama. Yang celaka karena pikiran saya dalam mencari uang terkotak-kotak sesuai kwadran yang 4 itu. Jadi setiap orang yang saya temui seakan-akan di kepalanya saya bisa melihat huruf besar E atau S atau B atau I sesuai dugaan saya apa kwadrannya.


Kalau saya ketemu orang E atau S, dalam hati saya ngomong sendiri, kasian amat orang ini. Kerja keras siang malam padahal nyata bahwa dia tidak akan bebas secara finansial.


Kalau saya ketemu orang B atau I, naluri mau kaya saya otomatis berkata, kamu harus dekat-dekat dengan orang ini. Baunya saja dia sudah kaya. Dia ini penghuni sisi kanan kwadran!


Wah, kondisinya bisa mengerikan. Takuuuttt. Ngak tahaaaannn.


**********


Posisi anda di mana?


Makanya saya merenung. Saya pikir, kalau semua orang belajar teori ini, kalau semua pemahamannya sama, tidak seorangpun yang mau masuk sisi kiri kwadran. Betul tidak?!


Jadi siapa yang mau jadi petani suapaya kita bisa beli beras? Siapa yang mau jadi nelayan supaya kita bisa makan ikan? Siapa yang mau ngajar di sekolah supaya anak-anak kita pintar? Siapa yang mau jadi pandai besi bikin panci supaya kita bisa masak? Siapa begini supaya begitu? Siapa begitu supaya begini?


Tapi Kiyosaki tidak salah. Bahwa kalau orang ikut teori dia bisa saja mereka berubah bebas secara finansial. Sekarang, mari kita lihat kenyataan. Masih banyak saja orang di dunia ini yang tidak ikut ajaran Kiyosaki. Mengapa? Kemungkinanya dua. Pertama, mereka tidak tau teori Kiyosaki, jadi wajar kalau mereka tidak ikut. Kedua, mereka tau tapi tetap tidak ikut. Pertanyaan saya, apa yang menahan mereka untuk tidak ikut?


*************


Subhanallah!


Lagi! Mari kita bersyukur! Satu karena sebagai muslim, dengan bersyahadat kita Insya Allah masuk golongan yang berhak dapat syafaat dari Rasulullah SAW. Dua, karena sebagai muslim pula, ada satu pembeda utama antara kita dan non-muslim dalam menjalankan kegiatan di dunia, termasuk dalam bekerja, yaitu 'BERKAH'.


Kita sebagai muslim dan non-muslim diberi kesempatan setara dalam mengejar kekayaan dunia. Makanya jangan tanya kok ada orang non-muslim oleh Tuhan dikasih banyak. Kita yang jelas-jelas berdoa setiap hari malah capek melulu tidak dapat banyak.


Jangan berprasangka kepada Tuhan. BERKAH itu adalah jawabannya.


Sebagai petani, apalagi dengan model petani di Indonesia, mungkin mimpi terbesar anda hanya boleh 'naik haji'. Paling tidak untuk saya sendiri, belum pernah tuh saya lihat ada petani di desa punya villa di puncak. Atau nelayan yang sehari-harinya di laut, belum pernah tuh saya lihat yang punya kapal pesiar. Tapi kok mereka masih tetap bertahan. Apalagi kalau bukan 'BERKAH' dari Allah SWT?!


Maaf, saya lupa akuratnya, semoga Allah melindungi saya dari kesalahan karena nafsu saya, tetapi setau saya ada hadits yang menyatakan bahwa setiap bulir padi yang dihasilkan petani dan dimakan orang, kemudian orang itu berbuat baik, selama itu pula si petani akan dapat pahala! Subhanallah! Ini sih lebih hebat dari kebebasan finansial. Kalau begini, petani kita bisa gubug derita di dunia tapi istana di sorga.


Sekali lagi alhamdulillah.


Renungan ini menjawab kebimbangan saya. Sebelumnya dengan teori Kiyosaki, banyak orang pasti bertanya, 'Posisi saya di mana? Apa saya berada di kwadran yang benar?'


Sekarang, kalau kita mengerti bahwa kerja atau usaha itu bukan sekedar dapat duit, tapi dapat berkah, kita tidak perlu lagi bertanya begitu. Pertanyaan kita sekarang, 'Sudahkan apa yang saya kerjakan ini berberkah?' Rugi kan kalau duit dapat cekak berkah pun 'nehi'.


Sebelum selesai, saya mau tanya anda lagi, 'Sudahkan apa yang anda kerjakan saat ini berberkah?'


Semoga......



18 Juli, 2007

Opportunity Cost


Tulisan ini saya posting di GM2020 tanggal 25 Mei 2007. Selamat membaca.


*********


Dalam ilmu ekonomi dikenal konsep Opprtunity Cost. Konsep ini memberi tempat yang sangat signifikan terhadap berbagai pilihan yang dipunyai oleh manusia.

Begitulah manusia. Manusia sesungguhnya sangat beruntung sebab diberi kesempatan oleh Sang Khalik untuk bisa memilih. Memilih di antara banyak pilihan. Ini pertanda yang dapat kita baca atas penegasan Sang Khalik bahwa manusia itu diciptakan dalam kondisi sebaik-baiknya.

Manusia beda dengan Malaikat. Manusia punya hati punya rasa. Malaikat hanya bisa ngikut.

Tapi bukan berarti ini mudah bagi manusia. Justru karena dikasih kesempatan untuk memilih di antara beberapa pilihan, manusia mesti bertanggung jawab. Yang lebih berat lagi karena pilihan seorang manusia bisa saja bertabrakan dengan pilihan manusia lain. Akibatnya terjadi gesekan.

Tapi semestinya kita tidak perlu khawatir. Sang Khalik bukan cuma memberi lisensi hidup terhadap manusia tapi juga disertai dengan manual hidup.

Akibat gesekan kadang terjadi benci. Akibat benci kadang terjadi caci maki. Akibat caci maki kadang terjadi yang lebih buruk. Dalam manualnya, Sang Khalik bertitah begini: Janganlah suatu kaum menjelek-jelekkan kaum lainnya. Karena bisa jadi yang menjelek-jelekkan tidak lebih baik dari yang dijelek-jelekkan.

Atau untuk kaum muslim, Sang Khalik juga menegaskan: Janganlah kamu menjelek-jelekkan kaum lain dengan cara yang berlebih-lebihan. Karena bisa jadi kaum yang kamu jelek-jelekkan balik menghina agamamu dengan cara yang berlebih-lebihan pula.

Apalagi yang mau kita pertanyakan kalau manual ini datangnya dari Sang Khalik?

Nah, balik ke topik tentang pilihan, di sini terlihat jelas bedanya Manusia Dewasa dengan Anak-anak. Manusia dewasa akan lebih arif dan bijaksana dalam memutuskan pilihan. Sebaliknya, anak-anak bisa memutuskan sesuatu yang fatal bagi dirinya. Makanya menurut saya alamiah jika terkadang orang tua bersikap dominan ketika anak dihadapkan pada pilihan. Tapi, orang tua yang arif dan bijaksana akan berusaha membimbing anak untuk berusaha arif dan bijaksana dalam meilih, sesuai tingkat usianya.

Di milis ini kita bebas berkomentar. Begitu saya pikir semua anggota milist sepakat. Tapi nama milis ini tentu juga memperlihatkan kesamaan interest kita untuk bergabung: GORONTALO MAJU 2020!.
Oleh karenanya, ada baiknya, sebelum meng"KLIK" icon "SEND", kita pertimbangkan, akankah postingan saya membawa GORONTALO MAJU 2020? Atau sebaliknya, justru akan menjadikan GORONTALO MUNDUR 2020 TH KE BELAKANG?

Bagaimana?

Tanda Bagi Orang yang Berpikir


Tulisan ini saya posting di GM2020 tanggal 25 Mei 2007. Selamat membaca.


***********


Di postingan sebelumnya saya menulis tentang hikmah yang saya ambil dari sumbu lilin. Masih ada lagi hikmah yang saya dapat ketika itu.

Tepat sebelum lilin mati, cahayanya meredup. Saya tertarik melihat bagaimana redupan cahaya itu menghilang sedikit demi sedikit, tidak langsung mati seperti kalau anda meniupnya.

Saya dengan istri ketika di awal-awal membangun bisnis pernah tukar pikiran begini. Istri saya mengeluh, kok rasanya susah sekali. Belum selesai masalah yang satu muncul lagi masalah yang lain. Rasanya lama sekali. Lamaaaaaaa betul. Kapan yah kita jadi orang berhasil trus bisa dapat uang banyak seperti kisah-kisah sukses orang bisnis lain?

Dalam hati sebenarnya saya mengeluh juga. Tapi ini pilihan saya dan mestinya saya sudah siap.

Kepada istri saya ngomong begini. Allah pasti sedang mendidik kita. Kalau semuanya mudah kita pasti tidak menghargai. Coba kalau begitu pertama kali membangun bisnis kemudian langsung berhasil. Sehari dapat untung 10 juta rupiah. Sebulan masuk kantong 300 juta rupiah. Mungkin kita tidak akan menghargai. Mungkin kita akan jadi takabur. Kita akan berpikir.... ternyata mudah dapat uang.....Kita akan jadi sombong bin takabur.

Allah banyak memperlihatkan tanda-tanda kepada kita. Dan kita disuruh mikir apa hikmahnya. Ambil contoh bagaimana buah-buahan melalui proses pematangan. Tidak serta merta. Semuanya bertahap dan merupakan kombinasi hasil kerja sama berbagai sumber daya. Belum pernah saya lihat penelitian, secanggih apapun itu dan sepandai apapun penelitinya yang bisa membuat anda memasukkan buah mentah ke dalam suatu perangkat atau alat kemudian 10 menit kemudian buah itu sudah matang seperti buah matang di pohon. Yang ada teman saya dari UGM dulu penelitiannya mengontrol proses pematangan buah melon sehingga ia bisa menghasilkan buah melon dengan tingkat kemanisan sesuai yang diingankan.

Ini adalah suatu tanda yang mesti kita baca.

Sungguh tidak menarik pula membca kisah sukses seorang pebisnis kalau dari awal hingga akhir tidak ada susahnya. Coba aja anda lihat kalau isinya seperti ini:

"Saya ketika lahir orang tua sudah kaya raya. Karenanya saya disekolahkan di sekolah bisnis terbaik di dunia. Setamat kuliah saya dibekali modal segunung. Saya bangun bisnis besar dan mempekerjakan orang-orang hebat. Begitulah, saat ini saya adalah pebisnis yang berhasil.... .."

Sepertinya kisah di atas tidak ada garamnya.... ......... ....

Dalam beberapa kesempatan bincang-bincang tentang pembangunan Gorontalo dengan kenalan, ada beberapa yang anggota milis ini, saya dulu termasuk orang yang sangat antusias mengritik pihak-pihak tertentu. Saya tersadar ketika ada kata-kata mutiara,"mungkin memang harus begitu dulu...kan semuanya butuh proses..."

Saya setuju. Membangun Gorontalo Maju apalagi dengan target di tahun 2020, kita harus menghargai proses. Termasuk proses demokratis yang sudah berjalan. Sure, kita tidak boleh tinggal diam dan harus terus mengingatkan satu sama lain. Bahwa proses itu harus berada di jalur yang tepat. Jangan justru dibelokkan.

Memang sih, anda bisa membidik sasaran panah dari arah tepat di depan, dari kiri, dari kanan, dari atas atau dari bawah. Tapi kalau dari depan memberi sudut pandang terbersih dan jarak bidikan terpendek, kenapa mesti dari arah lain?

Bagaimana?

Mengapa Tidak?


Tulisan ini saya posting GM2020 tanggal 26 Juni 2007. Selamat membaca.


*********


Di Gorontalo kita punya UNG. Saya pribadi senang dengan suasana kampusnya. Pernah pula beberapa orang akademisi dari Jepang yang saya temani mengunjungi kampus ini bilang ke saya bahwa mereka senang sekali dengan suasana kampus Jambura.

Maaf, saya bukan membesar-besarkan. Saya tulus menyampaikan pendapat para akademisi itu dan setahu saya, mereka juga tulus menyampaikannya ke saya.

Bagi saya, simple complement ini saja sudah bisa membuktikan bahwa UNG punya banyak potensi. Di postingan terdahulu saya pernah menulis tentang potential energy. Jangan tanya saya tentang penjelasan Fisika ilmiah dari potential energy ini. Saudara MY mungkin adalah ahlinya. Tapi dari segi common philosophy, saya melihat UNG punya potential energy yang besar.

Saya kenal baik dengan Bapak Rektor Nelson Pomalingo. Kami biasa tukar pikiran. Kami punya banyak kesamaan pikiran, tapi tidak sedikit pula hal-hal yang bisa diadu argumentasikan. Demikian pula dengan banyak orang-orang senior di UNG yang saya kagumi dan hormati.

Belakangan saya sudah jarang ke kampus Jambura. Terakhir awal Februari lalu, itupun untuk urusan bisnis yang lain.

Saya pikir ini kesempatan baik untuk saya mengajukan satu tema untuk sharing, demi kemajuan UNG ke depan.

Dalam beberapa kesempatan berinteraksi dengan rekan-rekan UNG, saya merasa ada sesuatu yang kurang.

Saya ingin mengutip kata-kata Bapak Rektor Nelson Pomalingo yang membekas di hati saya. Menurut beliau, UNG adalah pusatnya ilmu pengetahuan di Gorontalo. Bagi masyarakat Gorontalo, apapun itu, UNG akan dianggap sebagai tempat bertanya. Jadi, bisa atau tidak, UNG harus siap untuk menerima pertanyaan dari masyarakat dan harus siap dengan jawabannya.

Kata-kata ini selalu saya kenang.

Tapi sekali lagi, saya rasakan ada sesuatu yang kurang.....

Dalam suatu kesempatan saya datang ke UNG untuk melakukan TOT untuk persiapan pendirian sebuah lembaga yang saya bertindak sebagai konsultan di dalamnya. Jauh-jauh dari Makassar saya sudah persiapkan materi TOT tersebut. Alangkah kagetnya saya karena beberapa peserta TOT hanya datang untuk absen dan pulang.

Mungkin ini yang dimaksud oleh saudara Arfan Entengo yang saya kutip dalam postingan sebelumnya. Saudara Arfan mengingatkan kita agar tulus dalam hal apa saja.

Mungkin ini yang kurang. Mungkin ketulusan para akademisi di UNG perlu ditingkatkan lagi agar tujuan memajukan UNG, baik itu para dosen atau mahasiswa, atau masyarakat yang bertanya pada UNG sebagai tempat bertanya, bisa tercapai.

Ada seorang teman dekat saya di UNG. Menurut saya beliau sangat idealis dan tulus. Beliau pernah curhat ke saya. Pak Irwan, di kampus banyak orang sekedar mengejar 3K: Koin, Kredit, (1K-nya lagi saya lupa).

Barangkali sinyalir teman saya itu bukan cuma terjadi di UNG. Di kampus-kampus lain juga terjadi.

Tapi kalau memang begitu, mengapa tidak di UNG kita usahakan tidak begitu?

Masih ada lagi yang kurang menurut saya........ ..

Kreatifitas.

Sekali lagi ini mungkin bukan cuma di UNG. Bisa jadi ini masalah umum di banyak kampus. Satu hal bisa sangat membelenggu perkembangan kita karena ketiadaan kreatifitas. Biasanya penyebabnya klasik atau klise. Kita menganggap bahwa kita tidak punya banyak hal sehingga kita tidak bisa melakukan banyak hal.

Saya ingat tahun lalu. Saya mengantar seorang akademisi Jepang yang sedang menjajaki format pengembangan pendidikan bahasa Jepang di UNG secara khusus, di Gorontalo secara umum. Ketika itu, kami sempat berkunjung ke sebuah SMA di Tibawa (kalau tidak salah). Di SMA ini, kami dapat kabar diajarkan bahasa Jepang sebagai bahasa asing pilihan dan banyak diikuti oleh para siswa.

Sampai di sana, kami luar bisa surprise! Sekelas penuh sesak siswa yang mengambil mata pelajaran bahasa jepang sudah berkumpul. Mereka dengan semangat menyimak kata-kata sang tamu dari Jepang, dan mereka menyuguhkan banyak lagu yang lagi ngetop di Jepang lengkap dengan iringan gitar dan electone.

Yang menarik dan luar bisa, ternyata guru bahasa jepang di sekolah ini tidak memiliki kualifikasi sebagai pengajar bahasa jepang. Guru tersebut adalah mantan tenaga magang di Jepang yang nota bene kemampuan bahasa jepangnya sebenarnya tidak bisa diapakai mengajar di sekolah formal.

Kami takjub dan mengacungkan 2 jempol! Masih ada lagi, mereka bahkan rutin mengadakan perlombaan pidato bahasa Jepang.

Ketulusan dan kreatifitas tenaga magang ini mungkin bisa jadi referensi bagaimana banyak hal bisa dimajukan dengan dua hal tersebut.

Kalau di kampus lain banyak dosen yang kurang kreatif, mengapa tidak di UNG kita bikin tidak begitu?

Waktu SMA saya sempat ikut pertukaran pelajar di Jepang. Selama setahun saya sekolah di SMA setempat selayaknya siswa-siswa Jepang yang lain.

Sepulang sekolah biasanya saya nongkrong di depan TV. Salah satu acara favorit saya adalah perlombaan adu robot antara mahasiswa Jepang dengan mahasiswa MIT - AS. Belakangan di Indonesia saya lihat ada lomba serupa.

Ketika itu saya takjub sekali. Robot-robot yang dibikin oleh para mahasiswa itu kelihatannya dari bahan sederhana. Tapi hasilnya luar biasa.

Saya bukannya minta di UNG kita bikin adu robot juga. Tapi mungkin ide atau kreatifitas seperti ini perlu ditiru. Banyak teknologi sederhana yang saya yakin orang-orang UNG bisa membuatnya. Tidak perlu muluk-muluk atau mahal-mahal. Yang penting betul-betul bisa membantu masyarakat Gorontalo.

Jadi, sebagai orang awam yang bukan akademisi, itulah yang sejauh ini saya anggap kurang. Bisa saja di kampus-kampus lain kekurangan seperti itu juga ada. Atau mungkin lebih buruk. Tapi mengapa tidak di UNG kita bikin tidak seperti itu?

Mengapa tidak?

Boleh kan?


Tulisan ini saya posting di GM2020 tanggal 26 Juni 2007. Selamat membaca.


*********


Boleh kan kita menyindir diri sedikit?

Kita ini orang Indonesia banyak yang suka berpikir besar tapi melupakan yang kecil-kecil.

Di sekitar kompleks tempat tinggal saya di Makassar sedang dibangun Celebes Convention Center. Waktu gedung ini dicanangkan berdiri kalau tidak salah tahun lalu, ekspose di koran luar biasa. Belum lagi ditampilkan gambar arsitektural yang menambah keyakinan orang kalau gedung ini betul-betul akan menjadi penanda tempat (Landmark) Kota Makassar.

Lokasi pembangunannya juga stretgis sekali. Di Jalan Metro yang nota bene laut yang direklamasi jadi jalan pintas. Makanya pemandangan pasti luar biasa. Kalau tidak salah di sebelahnya akan dibangun hotel berlantai banyak (lupa lantai berapa) yang modelnya seperti bangunan terkenal yang ada di Dubai.

Setiap hari saya melintas di Jalan Metro. Makanya sedikit banyak saya jadi saksi bagaimana perkembangan pembangunan proyek ini. Waktu baca eksposenya di koran, dalam hati saya berharap banyak juga. Bagaimana tidak, pembangunannya tidak terlalu jauh dari kompleks rumah saya. Bisalah berbangga diri dikit......

Tapi lama-kelamaan saya perhatikan, ternyata tidak seindah warna aslinya. Terutama bagian-bagian detail. Kelihatan sekali kalau proyek ini diburu-buru. Mungkin karena gembar-gembornya besar, banyak pejabat dari pusat datang meninjau. Termasuk Presiden SBY. Kalau JK jangan ditanya.

Bagian atap dibikin agang lengkung. Modelnya seperti Keong Emas di Jakarta atau Opera House di Sydney. Jauh dari mirip sih, tapi sama-sama lengkung. Saya suka memperhatikan dengan seksama, sayaaaaang sekali karena lengkungannya kasar. Tidak jauh beda dari kerja tukang borongan waktu rumah ibu saya diperbaiki.

Ada hal lain yang menurut saya parah! Gedung manapun kalau didatangani, bagian pertama yang akan ditemui adalah lapangan parkir atau pelataran. Lumayan luas. Tapi kalau kita perhatikan, tanahnya dipaving. Tapi pengerjaannya sembrono sekali! Jauh lah dari kesan landmark yang bisa dibangakan.

Begitulah kita orang Indonesia. Pernah Matsui-san, tenaga ahli JICA yang saya ceritakan di postingan tentang Prof Abe, bilang begini ke saya. "Irwan-san, orang Jepang kalau anda datangani rumahnya tidak sedikit yang jorong. Tapi kalau fasilitas umum, pasti bersih dan bagus."

Hmm.......tersinggu ng!

Ya tapi kenyataan memang begitu. Ketika bicara proyek apalagi bangunan, anggarannya pasti dibikin mahal. Bukan mahalnya yang jadi masalah, tapi kesesuaian antara anggaran dengan hasil kerja. Kesesuaian dengan kualitas kerja.

Kan kita kalau belanja juga punya prinsip. Biar mahal asal kualitas bagus. Selain bergengsi juga tahan lama.

Kok ketika mengerjakan proyek tidak seperti itu?

Apa sih susahnya menerapkan prinsip yang sama, toh sama-sama membelanjakan uang?

Jadi, kalau di antara anggota milis ada yang kebetulan diamanahkan mengelola proyek pembangunan, saran saya, perlakukan seperti ketika belanja pribadi. Bukan dananya yang dianggap dana pribadi, tapi hasil belanjanya, carilah kualitas sebagaimana kalau kita belanja uang pribadi.

Boleh kan?

Mungkin ini............


Tulisan ini saya poting di GM2020 tanggal 29 Mei 2007. Selamat membaca.


*********

Mungkin ini bisa meredakan lumpur Lapindo....

Dulu Baghdad, Ibu kota Irak yang sekarang amburadul adalah salah satu pusat ilmu pengetahuan. Di sini pernah hidup imam-imam terkenal dalam sejarah Islam, salah satunya adalah Imam Hasan al Basri.

Hasan al Basri (semoga Allah senantiasa melimpahkan magfirah kepada beliau) adalah imam yang pandai dan terkenal arif.

Suatu hari, dalam waktu yang tidak bersamaan, datang tiga orang untuk berkonsultasi kepada beliau.

Orang pertama datang dengan masalah anak. "Ya Imam, tolong tunjukkan kepadaku bagaimana cara terbaik meminta kepada Allah agar aku dan istriku bisa punya anak. Kami sudah lama menikah tapi masih belum dikaruniai anak."

Sang Imam tafakur sebentar, kemudian berkata, "Pulanglah dan ajak istrimu beristigfar sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT"

Berselang beberapa saat masuk orang ke dua. Masalah dia ternyata masalah kampungnya. "Ya Imam, tolong tunjukkan kepadaku bagaimana cara terbaik meminta kepada Allah agar di kampungku diturunkan hujan. Kami sekampung merasa resah karena sawah ladang kami tidak bisa tumbuh karena hujan tak kunjung turun."

Sang Imam tafakur sebentar, kemudian berkata, "Pulanglah dan ajak orang-orang sekampungmu beristigfar sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT"

Berselang beberapa saat masuk orang ke tiga. Masalah dia relevan dengan yang oleh orang sekarang banyak dianggap sebagai masalah, yaitu rezki. "Ya Imam, tolong tunjukkan kepadaku bagaimana cara terbaik meminta kepada Allah agar aku bisa dapat rezki yang cukup. Capek rasanya saya banting tulang setiap hari tapi rezkiku habis untuk makan sehari."

Lagak Sang Imam juga sama, tafakur sebentar, kemudian berkata, "Pulanglah dan beristigfar sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT"

Dalam perjalanan pulang ketiga orang bertemu dan saling berbagi cerita. Mereka terkejut karena ternyata advise sang Imam sama untuk ketiganya. Mereka mulai meragukan kredibilitas sang Imam. Jangan-jangan Imam Hasan al Basri bukan imam pandai. Jangan-jangan ia biasa-biasa saja.

Mereka bertiga memutuskan kembali secara bersama-sama untuk meminta klarifikasi dan konfirmasi sang Imam.

"Ya Imam. Kami bertiga punya masalah berbeda. Tapi kok jalan keluarnya sama?!"

Jurus Sang Imam tetap tunggal, beliau tafakur sejenak kemudian bertanya:

"Wahai kalian bertiga. Apakah kalian percaya akan Allah?"

Tentu saja tiga orang itu bingung....? ??? "Wahai Imam, itu jangan ditanya. Tentu saja kami percaya kepada Allah!"

"Kalau begitu, apa kalian beriman kepada Al-Quran sebagai wahyu Allah?"

Ketiganya bingung berganda. "Wahai Imam, itu jangan ditanya. Tentu saja kami beriman kepada Al-Quran sebagai wahyu Allah!"

"Kalau begitu. Perbanyaklah beristigfar kepada Allah. Sesungguhnya, jawaban dari ketiga masalah kalian adalah sama...Cobalah buka Quran Surat An-Nuh ayat 9-11 (kalau tidak salah, penulis, soalnya materi ini sumbernya dari ustadz dan sudah agak lama), niscaya kalian akan tahu kenapa..."

Alangkah kagetnya ketiganya setelah membuka ayat yang dimaksud bahwa jawaban dari masalah ketiganya jelas-jelas tercantum di ayat tersebut. Mereka takjub membacanya seakan-akan mereka belum pernah membaca Al-Quran sebelumnya.. ..

Saya tidak akan memberitahu apa yang tercantum di dalam ayat tersebut. Silahkan Anda lihat sendiri.

Tapi kalau anda sudah melihat dan membacanya, tolong konfirmasi apakah kesimpulan kita senada?

Mungkin itu bisa meredakan lumpur Lapindo..... ....

Seharusnya bisa........ ....

Sarjana de Yure v Sarjana de Facto


Tulisan ini saya posting do GM2020 tanggal 30 Mei 2007. Selamat membaca.


***********

Ini jangan dianggap serius yah........

Saya coba-coba bikin klasifikasi. Sebenarnya klasifikasi ini sudah lama ada di dalam kepala. Tapi saya tahan-tahan. Tapi belakangan saya sangat bernafsu menuliskannya. Takut kalau saya tahan lagi, manifestasinya bisa dua, di muka saya keluar jerawat, atau malah keluarnya jadi angin via bawah....hehehe. ...

Balik ke masalah klasifikasi. Saya menggolongkan sarjana menjadi 2. Yaitu, Sarjana de Jure, dan Sarjana de Facto.

Sarjana de Jure adalah sarjana yang berijazah. Diberi gelar sarjana karena sudah menyelesaikan suatu sistem pendidikan tinggi yang berlaku. Gelarnya tergantung bidang dan tingkatan. Gelar dan ijazah menunjukkan bahwa si empunya gelar dan ijazah diakui menguasai ilmu dalam bidang tertentu oleh sekolah tempat ia belajar. Tapi apa betul si sarjana menguasai bidang ilmunya, baik teori maupun praktis, belum tentu.

Sarjana de Facto bagi saya adalah sarjana yang tidak berijazah. Tapi secara de Facto ia terbukti menguasai bidang ilmu tertentu. Masalahnya, karena orang-orang seperti ini tidak ikut proses penyerapan ilmu yang sistemik akademis, maka tidak ada yang mau beri gelar sarjana, apalagi kasih ijazah.

Sekali lagi ini jangan dianggap serius yah.......

Memang ada sebab apa saya bikin klasifikasi seperti ini?........ Iseng aja........

Ada cerita menarik dan sederhana. Adik ipar saya yang mengelola tempat penitipan anak baru-baru curhat ke istri saya. Dia sudah rekrut seorang guru yang bersertifikat dan diakui sebab keluaran sekolah khusus untuk calon guru di penitipan anak. Selain guru ini, ia mempekerjakan seorang family suaminya untuk bantu-bantu mengawasi anak-anak yang dititipkan.

Yang bikin adik ipar saya gemas, familily suaminya justru kelihatan lebih menguasai ilmu pengurusan anak daripada furu bersertifikat. Padahal, family suaminya itu berlatar belakang ilmu yang berbeda sama sekali, ia lulusan SMEA!

Itu kasus kecil-kecilan. Ada lagi kasus lebih besar.

Di Sulsel dulu ada perusahan teh yang dimiliki oleh Mitsui Company. Kalau anda tidak familiar dengan nama ini, ketahuilah bahwa Mitsui Company adalah salah satu Sogo Sosha (Kelompok Konglomerat kalau di Indonesia) yang membuat nama Jepang mengglobal.

Karena urusannya bikin teh untuk ekspor ke Jepang, otomatis yang dipekerjakan kebanyakan sarjana pertanian dari Unhas. Menariknya, giliran mengetes kualitas teh hasil kebun mereka, pelakunya adalah seorang pekebun tradisional dari bandung yang nota bene bukan sarjana! Kemampuan orang ini dahsyat man! Hanya dengan satu kecupan, ia suda bisa bilang proses pembuatan teh itu yang kurang bagian mananya...

Lha, memangnya saya pro yang mana?

Sarjana de Jure itu bagus. Itung-itung punya ijazah punya gelar. Belakangan ini kalau mau cari kerja, dua itu penting.

Sarjana de Facto, bagus sekali! Bayangkan, tidak melalui bangku sekolah, tapi menguasai sekali bidang ilmu tertentu.

Apa bisa seseorang adalah kombinasi dari keduanya?

Nah ini. Ini sebenarnya yang dicari! Sarjana yang punya ijazah dan gelar, tapi juga mumpuni secara de facto dalam bidang ilmunya. Bila ia sarjana pertanian, ia tidak kalah dari petani betulan. Kalau ia sarjana perikanan dan kelautan, ia tidak kalah dari nelayan betulan.

Emang gampang bisa begitu? Setahu saya sih tidak gampang..... ...mesti punya niat besar dan konsistensi tinggi dalam memperkaya bidang ilmunya..... .......

Wah, kayaknya susah yah......... .....

Sudahlah, jangan dianggap serius deh......... .

Pejamkan Mata........


Tulisan ini saya posting di GM2020 tanggal 31 Mei 2007. Selamat membaca.



*********

Itu di Gorontalo ada teman saya namanya Mas Wayan. Tanpa saya kasih tahu Anda pasti sudah tahu asalnya dari mana.......dari rahim ibunya..hehehe.

Saya kenal Mas Wayan urusannya tidak jauh-jauh dari Jepang. Dia adalah jebolan program magang depnaker ke Jepang. Saya senang mengamati dia, karena dia beda dengan jebolan magang ke Jepang yang banyak saya temui.

Wayan masih muda. Sudah punya usaha, kelihatannya maju, hebatnya karena dia di perantauan.

Tulisan ini bukan untuk mengangkat profil Mas Wayan. Tapi efek tulisannya mau saya pantulkan ke orang-orang dinas tenaga kerja Gorontalo, syukur-syukur kalau orang pusat juga kena pantulannya.

Itu program magang ke Jepang selalu jadi primadona di kalangan anak muda. Bayangkan saja. Di Jepang mereka bisa dapat gaji standarnya JPY150.000 (setara RP 12jt/bl) belum lembur. Setahu saya anak-anak magang itu lemburnya malah bisa lebih panjang dari jam kerja standarnya. Jadi bagaimana tidak menggiurkan?

Jadi jangan heran kalau ada anak magang Jepang baru pulang ke tanah air karena kontraknya habis, lagaknya bisa seperti OKB. Ya memang secara finansial mereka seharusnya pulang dengan kantong tebal.

Tapi sayangnya bukan cuma seribu sayang. Beribu-ribu sayang. Karenanya sejak awal motivasinya hanya mau cari uang banyak, yah dapatnya cuman uang banyak. Trus, apa uang banyaknya bertahan terus-terusan sampai setelah kembali ke tanah air?

Ini dia faktanya. Survey tidak resmi saya membuktikan, kebanyakan anak magang yang pulang ke tanah air enggan menerima tawaran kerja dari perusahaan di Indonesia karena membandingkan dengan gaji yang mereka dapat ketika di Jepang. Jelas aja nggak matching..!

Kesimpulan survey saya lagi, biasanya setelah kembali ke tanah air, mantan anak-anak magang ini hanya terpaku pada 2 pilihan. Pertama, cari jalan untuk kembali ke Jepang lagi, meskipun dengan cara-cara ilegal, dan kedua, berfoya-foya sebagai OKB sampai duitnya habis baru menyesal and trus cari kerja. Kasihan..... .....

Kalau urusannya dengan uang, setahu saya masalahnya juga dua: 1. Kekurangan Uang, 2. Kebanyakan Uang!

Nah, anak-anak magang yang baru pulang itu bermasalah di poin 2. Kebanyakan uang dalam semalam, balik ke Indonesia tidak tahu uangnya mau diapakan, berfoya-foya, habis!

Untuk yang mengurusi ini di Dinas Tenaga Kerja, ini bagian anda!

Coba sebelum mereka diberangkatkan, selain mengajari hal-hal yang berbau teknis pekerjaan, ajari juga dong mereka cara-cara mengelola uang pasca program. Coba undang orang-orang yang memang kapabel memberi pelatihan seperti ini supaya peserta magang ini setelah pulang tidak justru menambah angka kemiskinan setelah sempat menambah sesaat jumlah orang kaya di Indonesia.

Seandainya saya bisa hipnotis Anda yang di Dinas Tenaga Kerja Gorontalo, saya akan bilang begini ke Anda........ :

"Pejamkan mata Anda....Gunakan alam bawah sadar Anda.......
Bayangkan, kalau semua anak magang ke Jepang asal Gorontalo pulang-pulang bawa uang banyak,
Mereka kemudian jadi pengusaha, membuka lapangan kerja, keuntungan berlipat ganda,
Pajak mengalir ke Pemda....... ..bayangkan. .......bayangkan ......... "

Tuuuuuuuuuutttt. ...Orang Dinas Tenaga Kerjanya mau dihipnotis malah kentut!.....
(hehehe..... .bercanda dikit....... )

Kalau Anda tidak percaya dengan cerita saya tentang Mas Wayan ini, coba aja Anda cari dia di Gorontalo. Kalau tidak salah perusahaannya memroduksi mesin-mesin pemotong kayu, dan mesin-mesin lain. Coba deh Anda cari.

Kalau memang Anda ketemu dengan Mas Wayan itu, berarti cerita saya benar.
Kalau tidak ketemu?
Wallahu 'alam.....

Ayam sama Telur


Tulisan ini saya poting do GM2020 tanggal 31 Mei 2007. Selamat membaca.

********

Waktu masih kecil pertama kali dapat pertanyaan duluan mana ayam sama telur, gerombolan kami ribut. Yang yakin telur duluan, ngotot. Yang yakin ayam duluan, sama ngototnya. Ngotot ketemu ngotot, yah ribut.

Kejadian serupa pernah saya alami ketika sudah akil balik bin dewasa.

Waktu itu saya masih mengelola sekolah Bahasa Jepang. Suatu saat Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar mengundang asosiasi pengelola kursus untuk dialog. Isinya sudah bisa ditebak dari nama dinas yang mengundang. Apalagi kalau bukan rencana mereka untuk mengenakan pajak bagi lembaga-lembaga pendidikan. Padahal selama ini para pengelola lembaga pendidikan banyak dipuji karena mereka membantu pemerintah memajukan pendidikan, makanya tidak dikenakan pajak.

Seperti kejadian waktu saya masih kecil di atas, isi rapat melulu ribut. Protes sini, interupsi sana, marah kanan, umpatan kiri....pokoknya kacau.

Trus saya tanya orang dinas itu, emang kenapa kok tiba-tiba lembaga pendidikan akhirnya dimasukkan dalam target list untuk kena pajak?

Jawaban mereka kena........ maksud saya, kena....pa jawaban mereka bisa begitu? Katanya, untuk meningkatkan pendapatan daerah dan ujung-ujungnya bisa meningkatkan pelayanan publik dari pemerintah kota.

Hahaha...... logika mereka dalam memahami dilema ayam dan telur terlalu linear (meminjam istilah pak MY, thanx pak MY ini bukti keberhasilan pak MY memasyarakatkan bahasa fisika ke seluruh penjuru mata angin).

Trus saya tanya, "Kok sistematika berpikirnya tidak dibalik? Kenapa tidak kualitas layanan publik dinaikkan dulu, pendapatan daerah menurut insting saya akan ngekor naik juga...."

Insting saya ada dasarnya. Pernah seorang teman berkantong tebal mengundang saya makan malam. Kami ke restoran pakai mobil BMWnya edisi terbaru. Ketika sampai di restoran, mobilnya dapat tempat parkir khusus (walaupun di pinggir jalan juga). Kompensasinya buat si tukang parkir, kalau waktu itu mobil biasa parkirnya cuman Rp500, dia bayar Rp5000!

Saya tanya ke teman itu, apa kalau BMW parkirnya harus Rp5000? Dia bilang, sama saja dengan yang lain. Dia bayar Rp5000 karena kalau datang pasti dikasih tempat parkir spesial itu dan ada jaminan bahwa mobilnya tidak akan kena goresan orang iseng.

Ini mungkin bisa jadi masukan buat orang dinas pendapatan daerah di Gorontalo. Kalau mau PADnya naik, tingkatkan dulu pelayanan publiknya.

"Lha, kan untuk meningkatkan pelayanan publik butuh uang, mas?"

Siapa bilang? Tidak semuanya. Contoh, mempercepat urusan KTP, KK, atau dokumen-dokumen serupa lainnya. Siapa bilang untuk mempercepat urusan itu mesti butuh biaya?

Pernah saya dapat tugas dari organisasi mengurusi Exit Permit (izin keluar) di kantor imigrasi makassar bagi anak-anak bule yang ditempatkan di kota Makassar. Urusannya urgen karena kalau exit permitnya tidak segera keluar hari itu juga anak-anak itu tidak akan dapat tiket pulang lagi. Saya sebenarnya enggan karena sudah tahu bagaimana situsi di kantor imigrasi yang UUD (ujung-ujungnya duit).

Petugasnya pakai baju koko (kalo tidak salah itu hari jumat) kelihatannya sudah siap-siap untuk urusan akhirat shalat jumatan. Waktu saya menghadap, dia dengan tulus mengerutkan dahinya. Katanya, "wah mas, kalau urusan begini bisa 2 minggu".

Saya bilang, "Bapak tolonglah. Kami bukan organisasi profit dan anak-anak ini juga di Indonesia untuk pertukaran pelajar".

Dia kelihatan sangat bersimpati. "Begini aja mas. Bisa sih kalau mau hari ini, tapi........ .."

Anda pasti sudah tahu "tapinya" itu apa?

Setelah saya setuju menyanggupi "tapinya", ternyata yang katanya butuh 2 minggu, selesai dalam 2 jam!

Saya pikir banyak orang-orang di pelayanan publik terlalu berpikir "konstanta" (baca=jangka pendek) dan tidak "anomali" (baca=kreatif) ! (kalau 2 kata itu benar nggak saya cara pakainya pak MY?Kalau salah, sorry berarti level saya belum sampai ke situ fisikanya)

Mungkin mereka masih trauma atas jebakan pertanyaan duluan mana telur sama ayam. Makanya sampai duduk di tempat pelayanan publik pun sistematika berpikirnya masih kacau.....

Umar bin Khattab Gusar kepada Gorontalo


Tulisan ini saya posting di GM2020 tanggal 7 Juni 2007. Selamat membaca.

***********

Alhamdulillah. ......akhirnya saya punya waktu lagi duduk manis depan laptop saya untuk nulis setelah sekian hari sibuk urusan duniawi alias urusan perut dan sekitarnya (cari makan = urusin kerjaan).

Rasanya plong kayak permen. Satu urusan sudah dimudahkan Allah.

Tapi ada yang mengganjal. Umar bin Khattab Radiyallahu Anhu (RA) gusar kepada saya. Umar RA gusar karena saya nulis di milis untuk memajukan Gorontalo Insya Allah di tahun 2020 tapi saya dianggap tidak memajukan!

Saya bingung! Emangnya Khalifah Umar RA untuk memajukan Gorontalo maunya gimana? Kan teman-teman lain yang memang Gorontalo original (kalau saya ini Gorontalo Crispy, ada campurannya) udah gitu ada yang diracik di USA not to mention AUSSIE plus EU - tidak lupa berbagai belahan lainnya kecuali belahan yang bernuansa negatif - udah punya banyak konsep dengan nama aneh-aneh tapi yahud?!

Yah tapi Khalifah ini tetap gusar! Subhanallah! Kalau Umar RA gusar bahaya. Dalam riwayat, setan aja lebih milih menyingkir daripada berpapasan dengan panglima perang Islam ini! Panglima yang dibimbing langsung oleh Rasulullah SAW yang nota bene penerima wahyu yang tidak boleh dan tidak bisa sebersitpun kita ragukan dan kita lawan dengan argumen duniawi.

Saya masih bingung, maunya Umar RA apa?!

Ternyata simple. Umar RA meskipun jenius dalam bidang ekonomi dengan bukti berhasil menguasai wilayah Persia dan Romawi (2 kerajaan besar dunia ketika itu) dan memajukan jazirah arab, ajaran kemajuannya sangat down to earth.

Maunya umar sederhana. Kalau Gorontalo mau maju Insya Allah di 2020, "MAJUKAN PRODUKSI"!

Emang pesan-pesan Umar RA seperti apa, kenapa saya membahaskan dengan Majukan Produksi?

1. "Tidaklah Allah SWT menciptakan kematian yang aku meninggal dengannya setelah terbunuh dalam jihad fi sabilillah yang lebih aku cintai daripada aku meninggal di antara dua kaki untaku ketika berjalan di muka bumi dalam mencari sebahagian karunia Allah SWT."

Terjemahan bebas, "Aku masih jauh lebih mencintai bila meninggal di antara dua kaki untaku ketika dalam perjalanan mencari sebahagian karunia Allah SWT (baca= bekerja) daripada terbunuh dalam jihad fi sabilillah."

2. Umar RA melihat tiga orang di mesjid tekun beribadah, maka beliau bertanya kepada salah satu di antara mereka," Dari mana kamu makan?" Ia menjawab,"Aku adalah hamba Allah, dan Dia mendatangkan kepadaku rezkiku sebagaimana Dia kehendaki."
Lalu Umar RA meninggalkannya dan menuju kepada orang kedua seraya menanyakan hal yang sama. Jawab orang kedua,"Aku memiliki saudara yang mencari kayu di gunung untuk dijual, lalu dia makan sebahagian hasilnya, dan dia datang kapadaku memenuhi kebutuhanku. " Kata Umar RA, "Saudara kamu lebih beribadah daripada kamu!"
Lalu Umar RA mendatangi orang ketiga dan bertanya hal yang sama. Jawab orang itu, "Manusia melihatku, lalu mereka datang kepadaku dengan sesuatu yang mencukupi kebutuhanku. " Umar RA mengeluarkan tongkatnya, memukul orang itu seraya berkata,"Keluar kamu ke pasar!"

3. Umar pernah menghimbau kepada seorang gubernur di jamannya, "Nasehatku kepadamu, dan kamu berada di sisiku, adalah seperti nasehatku terhadap orang terjauh dari wilayah kaum muslimin. Jika keluar gajimu, maka sebagiannya kamu belikan kambing, lalu jadikanlah di daerahmu. Dan jika keluar gajimu yang selanjutnya, belilah satu atau dua ekor, lalu jadikanlah sebagai harta pokok."

4. Umar pernah bertanya kepada seseorang, "Apa yang menghalangimu untuk menanami tanahmu?!" Jawab orang itu, "Aku orang yang tua renta. Aku akan mati besok." Kata Umar RA, "Aku wajibkan kepadamu untuk menanaminya! " Lalu umar turun langsung bersama orang tua renta itu membantunya menanami lahan orang tersebut.

Masih banyak pesan Umar RA. Kelihatannya dengan pesan-pesan ini saya mulai tidak bingung. Umar RA menitikberatkan pembangunan sektor produksi dalam mengembangkan wilayah.

Tapi, sepertinya masih tertinggal satu kebingungan. Apa sih urgensi produksi sehingga Umar RA gusar begitu?

Merealisasikan keuntungan seoptimal mungkin. Ini sih biasa. Tapi dari contoh Umar RA, ada yang berbeda dengan perealisasian keuntungan seoptimal mungkin a la kaum kapitalis atau ekonomi konvensional.

Merealisasikan keuntungan seoptimal mungkin dari sisi ekonomi konvensional bermotivasi dua:
1. Memperkaya diri pribadi
2. Mengejawantahkan kebebasan pribadi secara mutlak

Nah, 2 hal tersebut tidak diterima dari sisi syariat Islam. Pertama, karena individu adalah bagian dari ummat yang seharusnya ikut merasakan suka dan duka bersama. Kedua, Islam adalah agama yang sangat menjamin kebebasan individu. Tapi seyogyanya kebebasan individu itu tidak mendatangkan mudharat terhadap kaum muslimin, meskipun itu mendatangkan keuntungan optimal.

Merealisasikan kecukupan individu dan keluarga. Ini juga cukup jelas
Tidak mengandalkan orang lain. Di sini Umar RA sudah bertindak pula sebagai seorang motivator ulung.

Pernah seorang pemuda yang kuat badannya masuk ke mesjid sambil membawa anak panah, lalu dia berkata,”Siapa yang dapat membantuku dalam jihad fi sabilillah?” Umar RA minta dipanggilkan pemuda itu. Umar bertanya,”Siapa yang mau mempekerjakan anak muda ini di ladangnya atas namaku?” Seseorang dari kaum Anshar berkata, ”Saya, wahai Amirul Mukminin!” Umar berkata ”Ambillah Dia!”

Melindungi harta dan mengembangkannya.

Mengekplorasi sumber-sumber ekonomi dan mempersiapkannya untuk dimanfaatkan
Pembebasan dari belenggu taklid ekonomi
Taqarrub kepada Allah SWT.

Ternyata sekarang jelas mengapa Umar RA gusar.

Jadi Gorontalo kalau mau maju sederhana. Penduduk Gorontalo harus dimotivasi untuk mengembangkan sisi produksi. Bukan justru bertindak konsumtif. Apalagi berlebih-lebihan.

Mungkin kegusaran Umar RA sudah terbukti. Coba ambil pelajaran bagaimana Mall Limboto ternyata bangkrut. Yah ada hikmahnya. Di satu sisi juga mungkin ornag Limboto cukup cerdas untuk tidak termakan bersikap konsumtif.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kegusaran Umar RA. Semoga beliau juga tidak gusar dengan orang-orang muslim pengambil keputusan di Gorontalo yang tidak mengedepankan sektor produksi. Jangan sampai Umar RA gusar lagi sama orang Gorontalo.

Jangan sampai.

Hukum DM

Tulisan ini saya posting di GM2020 tanggal 8 Juni 2007. Saya terinspirasi dari berita koran hari itu di Makassar bagaimana banyak pihak di Makassar seperti kebakaran jenggot karena Kota Makassar tidak dapat Adipura. Selamat membaca.

***********

"Mobil baru" berbeda sekali artinya dengan "Baru mobil". Mobil baru adalah mobil yang masih baru, sedangkan baru mobil mungkin bisa berarti bahwa saat ini saya baru bisa membeli mobil. Belum bisa beli helikopter.

Dalam Ilmu Bahasa Indonesia hukum ini disebut hukum D-M (Diterangkan menerangkan) . Bahaya kalau orang belajar bahasa Indonesia tidak menguasai hukum ini.

Pernah seorang siswa pertukaran pelajar di Makassar yang masih dalam taraf belajar bahasa Indonesia salah menggunakan hukum ini. Dia siswa wanita bule. Dia coba-coba pergi ke pasar sentral sendirian dengan bekal bahasa Indonesia seadanya. Kebetulan mau beli CD (celana dalam - penulis). Dia bilang kepada penjual yang kebetulan laki-laki, "Pak bisa beli Dalam Celana - nya?". Kontan penjual senyum-senyum berkata, "Tidak usah beli nona, itu gratis...."

Nah berabe kan kalau tidak kuasai hukum DM.

Tentu saja orang kita menguasai hukum ini dengan baik. Diterangkan - Menerangkan. Hukum ini sudah mendarah daging dalam sistem berbahasa Indonesia kita.

Tapi masih ada juga keterbalikan logika di mana-mana. Padahal mestinya kalau hukum DM sudah dikuasai, tidak terdapat lagi keterbalikan logika sehari-hari.

Contohnya di Makassar. Tadi pagi berita di Makassar TV memuat bagaimana Walikota dan anggota DPRD pada ribut karena Makassar tidak dapat Adipura dan bahwa Makassar katanya masuk kategori kota kotor.

Lha, memangnya kenapa semua pada gusar setelah ada penilaian itu?

Memangnya yang penting penghargaan atau predikatnya atau de facto nya?

Di sini kelihatan logikanya terbalik. Seperti waktu saya tulis masalah ayam sama telur. Wajar kalau sekarang banyak kebingungan. Karena sejak awal logikanya memang terbalik.

Mottainai = Dibuang sayang


Tulisan ini saya posting di GM2020 tanggal 14 Juni 2007. Selamat membaca.

*********

Itu komputer OH lagi diolok-olok, katanya mending dijual kiloan. Tapi dasar orang pintar, OH juga jawabannya cantik, "Dibuang? sayang..."

Sekalian aja saya sedikit bagi ilmu bahasa Jepang. Dalam bahasa Jepang ada satu kata yang berbekas di hati saya, yaitu kata "MOTTAINAI". Secara literatur artinya "Sayang". Bukang sayang untuk mengungkapkan rasa cinta, tapi sayang untuk membuang atau melewatkan sesuatu yang dianggap masih berguna.

Kenapa kata ini berbekas di hati? Karena di Jepang kata ini bukan sekedar kata biasa, tapi teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari nan moderen orang Jepang sekarang.

Sebenanya ini tidak luar biasa. Islam sendiri memiliki kosakata yang jauh lebih canggih untuk tujuan setimpal. Tidak tahu dalam bahasa Arabnya apa, tapi dalam kita-kitab yang saya baca, diistilahkan "TIDAK BERLEBIH-LEBIHAN" .

Beda amat?! Ya nggak dong.

Ambil contoh komputer OH. Semua anggota milis tahu bahwa perangkat komputer itu, kalau beli tahun ini, tahun depan mungkin sudah old fashion. Ada sebuah kampung namanya Fiksiland di negeri antah-berantah, saking maniaknya sama teknologi terdepan, dalam acara pernikahan, pasangan muda mudinya bukannya menggunakan "Seperangkat alat Shalat" sebagai mas kawin, tapi "Seperangkat Komputer dengan Prosessor Intel Terbaru".

Nah, filosofi dalam kata "MOTTAINAI", kalau masih bisa dipakai, jangan dibuang. Kalaupun punya uang, jangan cepat-cepat ganti.

Kalau begitu kapan gantinya? Kalau sudah urgen. Dalam hal ini, yang lebih komprihensif memberi pedoman, adalah kosakata dalam Islam yang artinya "Jangan berlebih-lebihan" .

Kesimpulannya, gantilah komputer OH, kalau memang dengan mempertahankan komputer tua itu membawa mudharat lebih banyak buat OH. Itupun, kalau sudah putus mau menggantinya, janganlah dibuang, berilah ke orang lain yang kiranya membutuhkan dan membawa kebaikan dunia akhirat buat orang itu. Ini kiranya filosofi tidak berlebih-lebihan itu.

Balik ke laptop.

MOTTAINAI sudah mendarah daging mengiang-ngiang di telinga orang Jepang. Konsekuensinya, kemajuan teknologi daur ulang. Pernah saya posting mengenai bagaimana mereka memperlakukan sampah sebagai sesuatu yang berharga. Tapi saya masih ingat hal lain lagi. 2 dan 3 tahun lalu saya sempat nginap di sebuah hotel di Tokyo. 3 tahun lalunya untuk sebuah konferensi yang merangkap hadiah jalan-jalan, nginapnya di hotel mewah bintang lima. Kemudian 2 tahun lalunya saya pergi lagi untuk urusan volunteering, nginapnya di hotel non bintang. Tapi saya perhatikan baik hotel bintang lima maupun non bintangnya, kesamaannya jelas. Di dalam kamar mandi hanya tersedia sabun dan sampo cair yang tempatnya melengket di dinding model pencet-keluar (jelasnya, kalau dipencet sabun atau samponya keluar). Ternyata lagi, di kedua hotel sama jelas tertulis di atas kotak sabun/samponya, "PAKAILAH SECUKUPNYA".

Pikir saya, canggih juga. Orang kalau namanya daki, kan tidak tebal-tebal amat. Lagian masak sih orang nginap di hotel seperti itu habis dari bengkel yang badannya penuh oli sampai harus pakai sabun colek satu toples?

Bedakan dengan di hotel kita? Pakai sabun batang atau bulat walaupun sudah dikecilkan ukurannya. Masalahnya, kalau tidak habis, apa orang yang menginap di kamar sama di hari berikutnya mau pakai sisanya?

Belakangan ini saya pikir-pikir, apa ada kosakata serupa dalam bahasa Gorontalo? Soalnya berhubung saya lahir dan besar di Makassar, saya cari-cari kalau dalam bahasa Makassar kelihatannya tidak ada.

Coba kalau dalam bahasa Gorontalo ada, sedikit-sedikit kita gaungkan deh. Setelah itu kita bikin orang terispirasi dengan filosofi yang ada di belakangnya. Supaya orang Gorontalo bisa maju dengan bersahaja, tidak boros bin berlebih-lebihan.

Kalau ternyata tidak ada, saya pikir kata "MOTTAINAI" kita serap saja menjadi bahasa Gorontalo dengan melakukan sedikit modifikasi. Bagaimana kalau "MOTTOONOO"?