13 September, 2007

Pengganti SMS: Marhaban Yaa Ramadhan


Bismillahirrahmaanirrahiim,

Pembaca penghaus hikmah yang Insya Allah dapat petunjuk dari Yang Maha Pemberi Petunjuk. Jika ada gawean terbesar di kalangan ummat manusia, gawean Ramadhan tentulah yang paling besar.

Gawean ini bukan sekedar besar. Gawean ini mulia. Ini tentang kita manusia dengan Allah Sang Pencipta.

---------

Seperti biasa setiap memasuki bulan Ramadhan, HP saya senantiasa berdering. Pertanda banyak SMS masuk. Anda tahu, ini termasuk satu momen yang saya tunggu-tunggu. Berbagai pesan permohonan maaf untuk terus mengencangkan silaturrahim ditulis dengan rapih dan indah.

Situasinya sungguh berbeda dengan dulu ketika orang sekedar menulis “Mohon maaf lahir bathin.” Kini meskipun esensinya sama, para kolega seakan berlomba untuk indah seindah-indahnya. Mungkin memang, memasuki Ramadhan, bulan yang menawarkan keindahan murni, pengaruhnya dahsyat.

Ini salah satu contoh:
“Jika semua harta adalah racun, maka zakatlah penawarnya. Jika seluruh umur adalah dosa, maka tobat adalah obatnya. Jika seluruh bulan adalah noda, maka Ramadhan adalah pemutihnya. Marhaban ya Ramdhan, mohon maaf lahir bathin. Semoga ibadah kita di bulan ini berlangsung khusyuk.”

Pesan di atas dikirim oleh seorang kolega. Belum-belum saya sudah merasa sesak. Belum-belum saya sudah merasa sentimentil. Belum-belum saya sudah merasa bak seorang pujangga. Dunia ini indah dan bertambah indah tak habis-habis.

Teman saya yang lain dan saya tahu adalah pembaca setia blog ini mengirim dalam bahasa Inggris:
“Liberating the heart can be attained through 4 virtues: Humility before Allah alone, needing Allah alone, fearing and respecting Allah alone, and hoping from Allah alone.”

Pesan di atas sungguh berbeda dari banyak pesan lain yang saya terima. Tidak ada kata permohonan maaf. Tapi bagi saya, tanpa kata itupun sudah seharusnya memberi maaf itu dibudayakan. Jauh lebih penting lagi, pesan ini singkat tapi bermakna panjang. SMS serasa bukan singkatan yang tepat untuk menggambarkan pesan ini. Mungkin lebih tepatnya ‘Short Message but Long Meaning’ (SMLM).

---------

Ramadhan adalah tamu penting. Segala aji penyambut tamu terbaik, keluarkanlah! Jika saja Ramadhan adalah ‘seorang aktor’, mungkin tidak ada ‘red carpet’ yang cocok untuk menyambut kedatangan ‘aktor ganteng serba bersih’ ini. Jika saja bungkuk ala Jepang ‘o-jigi’ kita anggap maksimal dalam menghormati tamu, mungkin tidak ada sudut bungkuk maksimal untuk bisa menghormati tamu Allah ini.

Saya terkesan oleh suguhan Harun Yahya di dalam tayangan videonya. Sebuah kutipan yang sangat berarti terus mengiang di telinga saya.
“Kebesaran Allah sungguh terlihat dalam berbagai hal yang kecil”.

Coba resapi kutipan ini. Biarkan dia larut dalam hati. Biarkan ia memutihkan hati kita yang hitam kelam. Biarkan ia membawa ‘rasa garam’ terhadap pengabdian kita yang ‘hambar’ selama ini.

Sungguh. Saya bingung. Saya terharu. Saya kaku. Ingin kusambut Ramdhan ini dengan sambutan terbaik. Namun apa pula yang sebanding baiknya dengan bulan Allah yang terbaik ini? Aku terlalu miskin di hadapan Allah. Aku terlalu kecil di hadapan Allah. Aku kehabisan kata-kata…….

Marhaban ya Ramadhan……..
Mohon maaf lahir bathin. Irwan, Ai, Heni

(Pesan ini sejatinya ingin kami kirim melaui SMS. Tapi setelah kami timbang-timbang, kayaknya pesan ini kepanjangan. Biar kami kirim lewat Blog ini saja. Mohon diterima)

11 September, 2007

Mau dong punya bukit.....


Pernah saya tulis tentang bilangan besar dan bilangan kecil. Waktu itu, untuk Allah SWT Yang Maha Besar, maka saya dedikasikan ke-besar-an itu hanya kepada Allah. Tapi saya lupa, Allah tidak menciptakan sesuatu itu sia-sia. Tidak ada dalam kamus-Nya seperti itu. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu yang kecil sekalipun. Makanya salah satu sifat-Nya adalah Maha Halus. Maksudnya, Allah tahu apapun itu dalam tingkatan yang paling halus sekalipun.

Tulisan ini tentang bilangan kecil.

Dulu saya malas menabung. Rasanya saya terlalu memandang enteng kalau harus menabung duit dan jumlahnya keci-kecil saja. Setiap mau menabung dan jumlahnya tergolong ‘kecil’, dalam hati terasa ada perasaan melecehkan, “Ini menabung kecil-kecil begini untuk apa? Kapan besarnya? Mana bisa beli rumah dengan jumlah kecil-kecil begini?”

Jadi tekad saya adalah menunggu hasil kerjaan ‘besar’, kemudian menabung sekaligus. Hasilnya? Hahaha, nggak pernah bisa nabung karena jarang dapat ‘kerjaan besar’!

Alhamdulillah ajaran Islam itu lengkap dan menyadarkan, bagi orang yang mau sadar……..(kalau memang dari sononya tidak mau sadar, sampe mati pun nggak bakal sadar saudara-saudara!)

Rasanya saya tersindir oleh ceramah seorang ustadz. Kata pak ustadz, “Bapak-bapak, Allah dalam menilai ketaatan dan pengabdian seorang hamba tidak bergantung kepada kuantitasnya. Tapi yang terpenting adalah konsistensi dan keikhlasannya dalam beribadah.”

“Ambil contoh shalat tahajjud. Allah jauh lebih menyukai orang yang hanya mampu bangun dan mengerjakan shalat tahajjud 2 rakaat setiap malam dan berkelanjutan (konsisten dijaga), daripada orang yang dalam setahun hanya shalat tahajjud di suatu malam dan jumlah rakaatnya 100!” begitu lanjut pak ustadz.

Terus pak ustadz memberi kesimpulan, “Artinya, amalan apapun itu, baik shalat sunnat, puasa sunnat, sedekah, dan lain-lain, jangan dinilai besarnya, tapi konsistensi kita dalam menjalankannya meskipun itu kecil.”

Entah mengapa uraian di atas justru membuat saya mengevaluasi kebiasaan menabung saya. Mungkin sudah begitu kehendak Allah dalam memberi petunjuk. Saya jadi berpikir, soal menabung sepetinya sama saja. Yang terpenting bukan berapa besar yang kita tabung, tapi konsistensi kita menabung secara regular.

Ini bukan sekedar 'yang penting menabung......'. Ini juga erat hubungan dalam membentuk mental atau kebiasaan suka menabung. Nanti ujung-ujungnya bisa berentetan kebaikan yang kita dapat.

Kalau metal suka menabung sudah didapat, otomatis muncul juga mental ‘hemat’. Mana ada orang suka menabung yang tidak hemat? Justru karena hemat lah ia bisa menabung.

Trus apa? Masih ada. Orang yang suka menabung adalah orang yang suka menghargai apapun. Alias tidak boros. Anda pernah ‘rasa’ kan kalau membeli sesuatu dari hasil keringat sendiri yang ditabung? Anda pasti akan menghargai benda yang anda beli.

Tidak berhenti sampai di situ, orang yang suka menabung Insya Allah bersikap mandiri. Mungkin terpengaruh dari kegigihannya dalam menabung dan mengumpulkan uang untuk target-target tertentu.

-----------

Sejak dengar ulasan ustadz itu manajemen keuangan pribadi saya ubah. Berapapun itu saya mesti mencoba konsisten untuk menabung. Bahkan kalau itu hanya ‘uang receh’ sekalipun.

Tapi saya sekarang penasaran. Kalau filosofi ini diterapkan dalam pembangunan, mestinya negara kita tidak perlu pakai jurus ‘anggaran berimbang’ atau bahkan ‘anggaran minus’. Anggaran berimbang kan berarti pemasukannya sama dengan pengeluarannya. Kalau anggaran minus berarti pengelurannya lebih besar daripada pemasukannya. Kekurangan pemasukan ditutupi dari utang, seperti negara kita sekarang.

Kalau saja filosofi ini diterapkan oleh pemerintah, saya yakin bin percaya angka kemiskinan berkurang. Bukan sekedar ditekan (termasuk ditekan di atas kertas supaya pemerintah yang berkuasa tidak terlihat bodoh dan malu-maluin). Program pengentasan kemiskinan dibiayai dari tabungan. Dengan begini harga diri bangsa juga bisa terangkat. Jangan seperti sekarang yang justru sebaliknya. Pemerintah seperti bingung mau membangun pakai uang dari mana. Akhirnya, apa-apa dari bangsa ini lantas digadaikan. Termasuk juga harga diri……

------------

Sekarang, kalau sudah tahu bahwa menabung itu adalah masalah konsistensi, yuk kita konsisten untuk menabung. Biar jumlahnya kecil-kecil tidak mengapa. seperti kata pepatah, 'lama-lama juga jadi bukit." Mau dong punya bukit.........