18 Juli, 2007

Sarjana de Yure v Sarjana de Facto


Tulisan ini saya posting do GM2020 tanggal 30 Mei 2007. Selamat membaca.


***********

Ini jangan dianggap serius yah........

Saya coba-coba bikin klasifikasi. Sebenarnya klasifikasi ini sudah lama ada di dalam kepala. Tapi saya tahan-tahan. Tapi belakangan saya sangat bernafsu menuliskannya. Takut kalau saya tahan lagi, manifestasinya bisa dua, di muka saya keluar jerawat, atau malah keluarnya jadi angin via bawah....hehehe. ...

Balik ke masalah klasifikasi. Saya menggolongkan sarjana menjadi 2. Yaitu, Sarjana de Jure, dan Sarjana de Facto.

Sarjana de Jure adalah sarjana yang berijazah. Diberi gelar sarjana karena sudah menyelesaikan suatu sistem pendidikan tinggi yang berlaku. Gelarnya tergantung bidang dan tingkatan. Gelar dan ijazah menunjukkan bahwa si empunya gelar dan ijazah diakui menguasai ilmu dalam bidang tertentu oleh sekolah tempat ia belajar. Tapi apa betul si sarjana menguasai bidang ilmunya, baik teori maupun praktis, belum tentu.

Sarjana de Facto bagi saya adalah sarjana yang tidak berijazah. Tapi secara de Facto ia terbukti menguasai bidang ilmu tertentu. Masalahnya, karena orang-orang seperti ini tidak ikut proses penyerapan ilmu yang sistemik akademis, maka tidak ada yang mau beri gelar sarjana, apalagi kasih ijazah.

Sekali lagi ini jangan dianggap serius yah.......

Memang ada sebab apa saya bikin klasifikasi seperti ini?........ Iseng aja........

Ada cerita menarik dan sederhana. Adik ipar saya yang mengelola tempat penitipan anak baru-baru curhat ke istri saya. Dia sudah rekrut seorang guru yang bersertifikat dan diakui sebab keluaran sekolah khusus untuk calon guru di penitipan anak. Selain guru ini, ia mempekerjakan seorang family suaminya untuk bantu-bantu mengawasi anak-anak yang dititipkan.

Yang bikin adik ipar saya gemas, familily suaminya justru kelihatan lebih menguasai ilmu pengurusan anak daripada furu bersertifikat. Padahal, family suaminya itu berlatar belakang ilmu yang berbeda sama sekali, ia lulusan SMEA!

Itu kasus kecil-kecilan. Ada lagi kasus lebih besar.

Di Sulsel dulu ada perusahan teh yang dimiliki oleh Mitsui Company. Kalau anda tidak familiar dengan nama ini, ketahuilah bahwa Mitsui Company adalah salah satu Sogo Sosha (Kelompok Konglomerat kalau di Indonesia) yang membuat nama Jepang mengglobal.

Karena urusannya bikin teh untuk ekspor ke Jepang, otomatis yang dipekerjakan kebanyakan sarjana pertanian dari Unhas. Menariknya, giliran mengetes kualitas teh hasil kebun mereka, pelakunya adalah seorang pekebun tradisional dari bandung yang nota bene bukan sarjana! Kemampuan orang ini dahsyat man! Hanya dengan satu kecupan, ia suda bisa bilang proses pembuatan teh itu yang kurang bagian mananya...

Lha, memangnya saya pro yang mana?

Sarjana de Jure itu bagus. Itung-itung punya ijazah punya gelar. Belakangan ini kalau mau cari kerja, dua itu penting.

Sarjana de Facto, bagus sekali! Bayangkan, tidak melalui bangku sekolah, tapi menguasai sekali bidang ilmu tertentu.

Apa bisa seseorang adalah kombinasi dari keduanya?

Nah ini. Ini sebenarnya yang dicari! Sarjana yang punya ijazah dan gelar, tapi juga mumpuni secara de facto dalam bidang ilmunya. Bila ia sarjana pertanian, ia tidak kalah dari petani betulan. Kalau ia sarjana perikanan dan kelautan, ia tidak kalah dari nelayan betulan.

Emang gampang bisa begitu? Setahu saya sih tidak gampang..... ...mesti punya niat besar dan konsistensi tinggi dalam memperkaya bidang ilmunya..... .......

Wah, kayaknya susah yah......... .....

Sudahlah, jangan dianggap serius deh......... .

Tidak ada komentar: