07 Desember, 2007

The Chef of Words


Belakangan ini, setelah bertemu banyak orang, saya jadi berpikir, kita ini sebenarnya seperti seorang chef, tukang masak.

Anda tau, chef itu dikatakan semakin profesional apabila ia banyak tau resep masakan, hasil masakannya enak, dan terpenting, penyajiannya juga bagus. Masalah penyajian jangan dipandang enteng. Adakalanya kita tidak terlalu bernafsu sama jenis makanan tertentu, tapi karena oleh chef-nya disajikan dengan cara yang bagus, kita jadi ditunggangi nafsu.

Lha, sekarang kenapa kita ini seperti seorang chef?

Betul. Hanya saja bukan chef masakan, tapi chef of words. ‘Tukang masak’ kata-kata.

Begini, kata-kata yang keluar dari mulut seseorang, sama dengan masakan yang dibuat oleh chef, efeknya hanya dua, membawa rasa enak (nikmat), atau sebaliknya, tidak enak. Makanya saya bilang kita itu persis seperti seorang chef.

Sebagai seorang chef of words, enak tidaknya kata-kata yang anda keluarkan bergantung pada beberapa hal.
Satu, ingredients atau bahan-bahan yang anda gunakan untuk menyusun kata-kata. Di sini, akan terlihat beda antara chef of words yang berilmu (baca: berwawasan) tinggi, dengan chef of words yang sebaliknya.

Saya kasih contoh. Biar mudah membedakannya, contohnya tidak jauh-jauh dari makanan. Bedakan perasaan yang ditimbulkan oleh dua kalimat berikut:

"Makanan ini enak"

dengan

"Makanan ini meninggalakan kesan mendalam di lidah"

Dua kalimat di atas sama dan sebangun tujuannya. Intinya makanan yang di sajikan berasa enak. Tapi berhubung ilmu chef of words yang mengeluarkan kalimat kedua lebih tinggi, maka perasaan yang ditimbulkan oleh kalimat itu juga beda.

Poin kedua yang mempengaruhi enak tidaknya hasil racikan chef of words adalah cara memasaknya, atau dalam hal ini, intonasi pengungkapannya. Dalam pergaulan lisan, tinggi rendah suara, penekanan terhadap kata, tiada lain adalah cara masak dari sang chef. Dalam ragam bahasa tulisan, variasi tulisan atau tanda baca adalah cara masaknya. Bandingkan lagi kalimat-kalimat berikut:

"Pendapatku enak."

dengan

"Pendapatku, ENAK!"

Anda bisa tangkap bedanya, kan?

Poin terakhir yang menjadi kunci enak tidaknya masakan sang chef adalah penyajian. Dalam hal ini, pemilihan kata yang tepat, sesuai dengan kondisi dan situasi, bisa dianalogikan sama dengan penyajian. Ini mirip dengan poin satu. Kalau di poin satu, wawasan menentukan berapa banyak pilihan kata yang dimiliki oleh sang chef. Di poin ini, seberapa lihai sang chef memilih di kata yang tepat di antara sekian banyak pilihan kata yang ia punyai.

Bedakan kesan yang ditimbulkan oleh dua kalimat berikut:

"Maaf bu, bakso habis!"

Dengan

"Maaf bu, kami kehabisan bahan. Bagaimana kalau besok ibu datang lebih cepat, saya janji kami tidak akan kehabisan bahan."

Kalimat pertama to the point. Kalimat kedua, tujuannya sama, tapi kesan yang ditimbulkan beda.

Mungkin masih banyak faktor yang mempengaruhi enak tidaknya perasaan yang ditimbulkan oleh kata-kata yang keluar dari mulut chef of words. Paling tidak, tulisan ini untuk membuka pikiran bahwa kata-kata yang keluar dari mulut kita merupakan sebuah produk, kita adalah produsen, dan pendengar kita adalah konsumen.

Prinsip ini semoga menyadarkan. Tidak ubahnya dunia bisnis, sebagai produsen kita tentu berharap punya banyak konsumen. Dengan kata lain kita berharap orang senang bergaul dengan kita akibat enaknya perasaan yang ditimbulkan oleh kata-kata yang keluar dari mulut kita.

Sekarang pilihan ada di tangan kita. Di tangan anda sebagai the chef of words. Anda mau jadi chef of words amatiran, atau mau jadi seorang professional? Up to you!

03 Desember, 2007

Mengapa Saya Berteman dengan Bapak Ini?


Bismillah,

Saya pernah berteman dengan seseorang yang kaya. Bisa anda tebak toh kenapa saya berteman dengan dia? Yah, karena dia banyak uangnya.

Saya pernah juga berteman dengan orang yang punya kuasa. Lagi-lagi gampang diterka, saya berteman dengan dia karena dia punya kuasa.

Belum habis. Saya pernah juga berteman dengan orang karena cantiknya. Ah, anda tau saja kalau saya mudah tergoda oleh kecantikan seseorang. Makanya saya berteman dengan orang cantik ini.

Tapi dari semua alasan kenapa saya berteman dengan banyak teman-teman saya, tidak ada satupun yang cocok untuk menggambarkan kenapa saya senang sekali berteman dengan bapak satu ini.

Orangnya relatif jauh berumur di atas saya. Maaf, dia sama sekali tidak good looking. Pakaiannya sangat sederhana, bahkan bagi beberapa orang yang tidak mengerti cenderung akan menilai bapak ini tidak tau tata karma berpakaian. Uangnya juga tidak banyak. Bisa jadi malah biaya ngopi saya dalam sebulan jauh lebih banyak dari uang yang dia hasilkan dalam sebulan.

Tapi apanya yang bikin saya betah berteman dengan bapak ini?

*******

Pagi tadi dia sms saya. Pak, saya mau ketemu bapak bisa dimana? Begitu pesan singkatnya. Di kantor saya, balas saya singkat.

Setelah shalat Dhuhur dia muncul. Terakhir saya dengar dia tabrakan dan saya tidak sempat (tidak mau menyempatkan?) membesuknya. Saya jabat tangannya dengan erat sembari bertanya antusias bagaimana kondisinya pasca kecelakaan.

Mungkin ini salah satu alasan mengapa saya suka berteman dengan bapak ini. Ketika saya tanya tentang kecelakaan itu, dia dengan serius dan semangat berkomentar begini, “Pak, kecelakaan itu betul-betul anugerah besar bagi saya. Saya luar biasa bersyukurnya!”

“Saya dapat banyak pelajaran dari Allah SWT, Pak. Pertama, saya nggak usah malu bongkar ke Bapak bahwa dapur saya itu kadang mengepul kadang tidak ada asap. Ketika saya kecelakaan dan pihak rumah sakit menghubungi keluarga saya di rumah bahwa saya harus dibawa ke rumah sakit Wahidin di Makassar, keluarga saya campur aduk antara sedih dan bingung. Mereka sedih karena saya kecelakaan, mereka juga bingung karena biaya ambulansnya saja Rp800 ribu! Belum lagi selama di rumah sakit saya koma 3 hari, total biaya yang harus keluarga kami keluarkan sekitar 8juta! Bapak tau bagaimana bingungnya keluarga kami?”

Dahi saya berkernyit. Hati saya sangat tertarik mendengar kelanjutan ceritanya.

“Bapak tau, sampai dengan saya sadar dan terbangun dan keluar dari rumah sakit, Alhamdulillah ternyata semua biaya diselesaikan oleh seseorang yang saya dan keluarga saya sampai detik ini tidak tahu siapa itu.”


Oh ya?! “Saya hanya terpaku takjub.

“Masih ada pelajaran kedua, pak.”

Mendengar ini saya sempat-sempatnya melakukan analisa. Bapak ini luar biasa memang. Pelajaran pertamanya saja bagi saya luar biasa, masih ada lagi ternyata pelajaran kedua. Saya kembali menegaskan kepada diri saya, barangkali ini dia yang bikin saya suka berteman dengan bapak ini….

“Waktu tubuh saya terbujur kaku karena koma, kata keluarga saya, rumah sakit Wahidin ramai sekali. Di sekitar ruang ICCU ada sekitar 200 orang datang menjenguk saya. Segitu banyaknya sampai-sampai keluarga pasien lain pada bertanya-tanya, ini yang sakit siapa? Apa dia seorang tokoh terkenal? Keluarga saya bilang kalau saya hanya seorang pengantar roti ke toko-toko. Orang-orang tidak percaya. Kata mereka mana ada pengantar roti ke toko-toko dijenguk sampai 200an orang lebih begini?”

Saat itu saya bisa merasakan bulu kuduk saya mulai berdiri satu per satu. Bisa saya bayangkan bagaimana hebohnya kalau ada orang dijenguk 200an orang sekaligus. Saya tanya bapak ini, “Mereka yang menjenguk itu siapa pak?”

“Jujur saja saya mungkin tidak mengenal banyak dari mereka. Tapi pikir saya, mungkin ini buah dari kesenangan saya bersilaturrahim dan menjenguk orang lain kalau lagi sakit.”

Hmmm…..pingin rasanya saya pahat kata-kata itu di dinding rumah saya biar tidak akan pernah hilang dan saya bisa baca terus…”Saya rasa, bapak ini beruntung karena di balik kecelakaan itu bapak dapat 2 pelajaran berharga,” kata saya.

“Masih ada lagi, pak” katanya bersemangat. Wah, kalau di balik kecelakaan ada lebih dari 2 pelajaran yang bisa diambil, ini yang ambil pelajaran pasti levelnya lebih tinggi dari professor nih….pantas kalau saya senang berteman dengan bapak ini. Mungkin ini alasan kenapa saya suka berteman dengan dia.

“Saya kena kecelakaan itu sepulang menjalankan kegiatan dakwah. Ketika tubuh saya kaku antara hidup dan mati, keluarga saya sudah dikumpulkan oleh pimpinan organisasi dakwah kami. Beliau bilang, ‘kalau terjadi yang terburuk pada tubuh kaku ini dan ia mesti kembali ke asalnya, Insya Allah dia tergolong mati syahid’…Ternyata setelah 3 hari saya sadar. Saya jadi berpikir, mungkin saya belum mati karena saya belum mencapai level syahid itu. Mungkin Allah memang masih memberi saya usia untuk memperbaiki diri dan ibadah saya agar suatu saat kalau saya mati sesungguhnya, saya bisa mencapai level syahid itu.”

Masya Allah. Seandainya gaya gravitasi bumi lebih besar dari yang ada sekarang, mungkin air mata saya sudah jatuh karena haru mendengar kesimpulan bapak ini. Subhanallah. Saya suka sekali berteman dengan bapak ini. Dia pandai mengambil hikmah. Dia sungguh banyak memiliki di balik ketiadaannya. Dia kokoh di balik kerapuhannya…..

******

Kalau ada banyak alasan mengapa kita berteman dengan seseorang, mungkin alasan mengapa saya berteman dengan bapak di atas adalah alasan terbaik.

Teman yang saya bilang saya temani karena kekayaannya, ada yang masih saya temani adapula yang sudah tidak lagi. Mungkin karena mereka tidak kaya lagi.

Teman yang saya bilang saya temani karena kekuasannya, ada yang masih saya temani adapula yang sudah tidak lagi. Mungkin karena mereka tidak berkuasa lagi.

Teman yang saya bilang saya temani karena dia cantik, ada yang masih saya temani adapula yang sudah tidak lagi. Mau apa lagi, mereka sudah hilang kecantikannya.

Tapi bapak ini, saya masih belum menemukan alasan yang tepat mengapa saya suka berteman dengannya. Tapi apapun itu, saya tidak punya alasan untuk menghentikan pertemanan kami karena apapun alasan yang saya jadikan alasan itu, sampai sekarang masih dia miliki. Sepertinya, itu tidak akan hilang. Makanya, Insya Allah kami akan berteman terus.

26 November, 2007

Ternyata salah hitung....


Assalaamu alaikum,

Bicara waktu, ‘cepat-lama’ itu relatif. Betul, kan?
Ini kenyataan. Tidak usah jauh-jauh ambil contoh. Kalau sedang puasa Senin-Kamis, adakalanya waktu terasa cepat berlalu, kadang pula sebaliknya. Seperti sekarang ini. Ketika sedang menulis, atau mengerjakan tugas di kantor, tanpa terasa sudah waktu pulang. Sekitar 8 jam kerja habis di kantor perut keroncongan oleh puasa sama sekali tidak terasa. Tapi lucunya, ketika waktu berbuka tinggal hitungan 10 menitan, baru terasa lamanya menunggu waktu azan di depan TV…hahaha…

Makanya buang-buang waktu saja kalau berdebat tentang persepsi waktu. Tapi belum lama ini saya dapat ilmu baru tentang ini. Bahwa ternyata selama ini persepsi manusia tentang waktu itu salah besar.

Nah, lho…kalau ada ilmu yang menafikan relativitas waktu a la manusia, ilmu darimana? Yah, darimana lagi kalau bukan dari Yang Empunya waktu? Dari mana lagi kalau bukan dari Allah SWT?

Jadi begini. Sehari di akhirat itu ternyata setara dengan 1000 tahun dunia. Wuih! Kebayang? Kalau begitu, sehari kan sama dengan 24 jam. Berarti sejam di akhirat setara dengan 41.7 tahun dunia (nyaris setengah abad) dong! Berarti lagi, kalau usia 100 tahun sudah dianggap panjang umur oleh manusia, berarti sama saja dengan usia 2 jam di akhirat! Pendek amat!

Sekarang jelas sekali. Kalau ummat Rasulullah SAW umurnya rata-rata 65 tahun, berarti setara akhiratnya 1.5 jam pun tidak. Kalau begini, apa kita masih mau merasa bahwa kita punya banyak waktu?

Semoga informasi ini bisa membuka wawasan. Agar kita betul-betul menghargai waktu. Pantas kalau di dalam Al-Quran Allah SWT pernah bersumpah demi waktu. Mestinya itu sudah lebih dari cukup bagi kita untuk terbelalak. Bahwa kita ini manusia memang sering salah hitung. Begitulah karena kita berparadigma bagai katak dalam tempurung. Hitungan kita hanya seluas tempurung kita.

******

Hidup kita tidak sampai 2 jam?! Saya saja kaget bertubi-tubi! Trus sekarang bagaimana dong?

Yah, mau bagaimana lagi, jalani saja hidup anda yang 2 jam itu. Saya sendiri berusaha begitu. Tapi kepanikan saya, begitupula anda seharusnya, tidak perlu berlebihan kalau anda tau apa yang bisa anda dapatkan dalam 2 jam itu. Apa? Keabadian!

Betul. Bagi anda yang pandai menggunakan hidup yang 2 jam, Allah SWT yang nggak pernah wanprestasi sudah menjanjikan keabadian hidup di surga-Nya. Tapi kalau sudah tau hitung-hitungan ini anda masih gagal menggunakan 2 jam anda, nerakanya Allah SWT dengan riang gembira menjadi tempat tinggal abadi anda.

Masih mau salah hitung?
Gambar diambil dari sini.

02 November, 2007

Korban Tali Rafia


Bismillah,

Dulu setiap Jumat saya dapat banyak ide untuk menulis. Sumbernya bisa dari mana saja. Paling banyak dari mana lagi kalau bukan dari khutbah Jumat di mesjid.

Hari ini jujur saya tidak dapat ide apa-apa dari khutbah Jumat. Soalnya saya jatuh tertidur dan agak pulas. Malu sekali rasanya saya pada diri sendiri. Apalagi saya duduk di saf paling depan (berharap dapat unta hehehe). Nanti terbangun ketika khatib sudah hampir selesai.

Sebenarnya hari ini malu saya berlipat ganda. Sebelumnya saya sudah berbuat zalim kepada seseorang.

Sebenarnya ini hal biasa. Seseorang tanpa permisi masuk ke gudang saya dan memunguti tali-tali raphia yang berserakan. Disangkanya tali itu tidak kami pakai lagi. Padahal saya sempat mengeluh kepada anak buah saya yang sebentar-sebentar meminta dibelikan tali. Saya sudah menegur mereka karena saya nilai mereka terlalu boros dan bekerja tidak efisien.

Makanya ketika melihat ada orang tanpa permisi memunguti tali-tali tersebut, saya serta merta menegur dengan keras. Di luar dugaan orang ini malah balik marah ke saya. Kami kemudian adu argumen. Ujung-ujungnya saya ditantang berkelahi. Alhamdulillah, meski emosi, apalagi ketika sedang bertengkar, saya biasakan diri membaca surah An-Nas dalam hati. Harapan saya, agar saya terlindungi. Apapun kejadiannya, kalau itu yang terbaik, saya selalu berharap bahwa Allah SWT melindungi.

Dalam suasana emosi, kepala saya sempat mikir. Malu juga kalau nanti saya berkelahi dan akibatnya fatal, trus muncul di koran besar-besar dengan judul “Korban Tali Rafia”. Iihh…ngeri! Makanya saya ambil inisiatif untuk menyudahi.

Agak repot juga. Apalagi anda mungkin pernah dengar bagaimana orang Makassar kalau lagi emosian. Untungnya meskipun bukan orang Makassar 100%, saya punya bekal bahasa Makassar cukuplah untuk menenangkan orang sesama Makassar kalau lagi marah. Ternyata diplomasi bahasa daerah kalau dalam kondisi begini efeknya maknyos punya!

Belakangan setelah semuanya reda, saya jadi malu sendiri. Kok bisa-bisanya karena tali rafia saya ‘meneriaki’ orang. Bagaimana pula kalau saya punya rantai emas semeter. Bisa-bisa saya berubah jadi setan kali yah……?

Subhanallah. Aku bersyukur kepada Allah yang senantiasa membimbing dalam kondisi apapun. Memang Allah adalah sebaik-baik pemberi jalan keluar. Kalau saja terjadi Korban Tali Rafia, bukan hanya saya, keluarga saya, karyawan saya, dan mungkin orang-orang yang berhubungan dengan bisnis saya, semua bisa kena imbas. Bisa jadi imbasnya besar bisa pula imbasnya kecil. Wallahu ‘alam bissawab.

Ya Allah, aku berlindung kepadaMu agar aku dan para pembaca setia blog ini tidak ada yang jadi ‘Korban Tali Rafia’, baik sekarang dan sampai selamanya. Amin.


Gambar diambil dari sini.

Maaf Atas Pengkhianatan Ini....


Assalaami Alaikum Wr. Wb,

Pembaca blog setia saya. Demikian pula kerabat dan handai taulan. Serta sahabat, baik karib maupun yang akan karib......

Postingan ini bagi saya spesial. Sesungguhnya seluruh postingan bagi saya spesial. Hanya saja, khusus untuk postingan ini, saya tambahkan elemen perasaan yang lebih dalam. Saya tambahkan rasa sentimen yang tidak biasa atau tidak seperti biasanya.

Musababnya tentu ada.

Satu. Saya sungguh terlambat menuliskan pesan Ied Mubarak. Tapi sebagaimana kata orang, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Makanya, kepada anda sekalian, terimalah untaian kata dari saya:

"Mohon Maaf Lahir Bathin. Taqabbalallahu minna wa minkum. Shiyama wa shiyamakum"
ttd, Irwan, Ai, Heni.

Dua. Rasanya lama sekali sejak postingan terakhir saya. Saking lamanya, saya serasa asing terhadap blog ini. Bahkan kata sandi (password) untuk mengakses membuat postingan pun saya nyaris lupa. Padahal, saya sangat menikmati mengenal anda. Meskipun saya tidak atau belum pernah melihat anda pembaca secara langsung. Tapi rasa-rasanya, hati saya kok sudah sejiwa dengan hati anda.

Mungkin ini contoh kecil saja. Bagaimana kalau kita sudah cinta maka wujud itu tidak jadi masalah. Demikian adanya pula dengan iman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Saya dan anda pembaca, tentu tidak mementingkan untuk melihat wujud atau dzat-Nya. Tapi kita yakin dalam hati, kita tampilkan dalam kehidupan, bahwa kita mencintai-Nya. Semoga cinta kita kepada-Nya suatu saat berbalas dengan diizinkannya kita oleh-Nya untuk bercengkerama dengan-Nya bahkan dengan wujud sekaligus. Tapi tanpa itupun, cinta ini kepada-Nya sudah membuat hati sangat berbunga-bunga.

Pembaca blog setia. Anda bagi saya sudah seperti saudara. Sudah seperti teman. Bahkan sudah seperti kekasih. Maafkan saya kalau saya lama tidak menyapa anda melalui tulisan atau postingan saya. Saya bisa mencari seribu satu alasan untuk itu, tapi toh itu bukan tujuan saya meminta maaf. Saya merasa sudah berkhianat. Saya merasa lalai dan tidak konsisten untuk mempertahankan kebiasaan yang saya harap suatu saat menjadi tradisi, untuk senantiasa sharing dengan anda sekalian, tentu sharing yang baik, yang dilandasi oleh niat berbakti kepada Allah SWT. Niat untuk mendapatkan kebahagian hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.

Sekali lagi,

Maafkan saya atas pengkhianatan ini......


Gambar diambil dari sini.

01 Oktober, 2007

Manusia Kapal Selam (Terinspirasi oleh Ustadz Irwan Fitri, LC)


Kapal selam dalam kondisi perang jarang sekali nongol ke permukaan. Paling nongol kalau perlu. Selebihnya tidak terlihat di permukaan. Tidak nongol.

Ustadz Irwan Fitri, LC ternyata mencermati kapal selam. Kata beliau, dalam bulan Ramadhan ini, ada, atau tepatnya, banyak, manusia seperti kapal selam. Bagaimana bisa?

Lihat saja mesjid-mesjid. Coba perhatikan dari sabang sampai merauke. Kalau 1 Ramadhan, mesjid pada penuh sesak. Pengurus sampai kewalahan mengatur jemaah. Seperti di mesjid kami. Kami bahkan menambah 5 petak tenda di sekeliling mesjid untuk mengantisipasi ini.

Ketika awal Ramadhan itu, banyak muka-muka baru yang saya sendiri baru lihat. Di situ saya tahu bahwa si anu dan si anu ternyata adalah tetangga sebelah kompleks. Bukan cuman jamaah berusia senior yang nongol, para pemuda dan pemudi juga pada keluar sarang. Pokoknya semua orang berlomba-lomba masuk mesjid. Semua orang pada nongol ke permukaan. Persis seperti kapal selam yang lagi nongol ke permukaan.

Sekarang sudah setengah Ramadhan terlewati. Sekarang kapal selam lagi menyelam. Seperti orang-orang yang tadinya nongol tapi sudah tenggelam. Mesjid-mesjid jadi banyak kemajuan. Kemajuan shaf. Tadinya shafnya penuh ke belakang, sekarang jadi maju ke depan. Ini namanya apa lagi kalau bukan kemajuan?

Inilah yang disindir oleh ustadz Irwan Fitri, LC sebagai manusia kapal selam. Awalnya nongol, sekarang sudah tenggelam. Tapi tunggu saja, ntar nongol lagi kok, sindir sang ustadz. Tunggu saja 1 Syawal, Hari Raya Idul Fitri. Orang-orang yang sudah pada tenggelam itu malah biasanya nomor satu muncul di lokasi shalat Ied. Baju yang dipakai mereka juga paling baru. Kopiahnya juga paling baru. Apalagi sarung dan sajadah. Pokoknya, mereka terlihat paling bahagia di antara orang-orang bahagia lainnya.

Apa setelah nongol di hari raya Ied mereka akan nongol terus?

Namanya juga manusia kapal selam. Paling juga bertahan sehari dua hari. Setelah itu menyelam lagi. Nggak nongol-nongol.

Takutnya satu hal. Saking asiknya menyelam, alias nggak nongol-nongol, ajal datang menjemput. Wah, ini celaka. Ini namanya tenggelam di dunia tenggelam di akhirat. Namanya orang celaka, sekali celaka akan terus celaka. Dan kalau di hari kemudian kita celaka, waduh, celakanya berkelanjutan alias abadi.

Jangan jadi ‘Manusia Kapal Selam’ deh….!


Catatan: Gambar diambil dari sini

Rejeki Besar


Hampir saja saya kehilangan rejeki besar. Tadi siang, sebelum shalat dhuhur, baru teringat kalau saya belum mengonfirmasi ustadz untuk ceramah teraweh malam ini. Sekitar seminggu lalu pernah begitu. Saya lupa menelepon mengingatkan ustadz yang sudah dijadualkan. Ujung-ujungnya, beliau tidak datang dan seperti biasa, saya harus mempertanggungjawabkan kelalaian. Saya harus bertindak jadi ustadz pengganti.

Telepon pertama ustadz Irwan Fitri, LC nadanya sibuk. Saya telepon lagi, masih senada seirama, tut tut tut tut….artinya sibuk. Saya genapkan telepon ketiga kalinya, rasanya bunyi itu baru saja terdengar….tut tut tut….

Capek deh. Begitu dalam hati saya. Kalau saya telepon lagi, jangan-jangan bunyinya “maaf, anda belum beruntung”….Ya sudah, kalau pak ustadz ini tidak datang biar saya ceramah lagilah….begitu tekad dalam dada. Tapi Tuhan masih menggerakkan saya untuk mencoba opsi terakhir, mengirim pesan SMS.

“Ass. U mengingatkn jadual cermh trwh mlm ini di mesjd Nurul Barakah Tanjung Bunga. Shalt Isya pk 7.45. Wass”. Begitu isi SMS yang saya kirim.

Setelah itu saya kembali larut pada kegiatan lain.

Tak disangka, menjelang waktu buka masuk sms. “Ana kurang jelas alamtnya. Bisa jempt ana di depan kantr camat? Sykrn”.

Berhubung nomor ustadz Irwan Fitri tidak saya simpan di memori HP, sempat kening berkerut. Siapa pula yang ngirim SMS pakai allughatul ‘arabiyah segala? Untung saya cepat ingat. Saat itu pula saya menelepon sang ustadz untuk menjelaskan rute menuju mesjid kami.

----------

Ustadz Irwan Fitri, LC ternyata bawa rejeki besar. Malam itu ceramah beliau memukau jemaah. Awalnya saya pikir gayanya akan sama dengan banyak penceramah sebelumnya yang kalem-kalem aja. Akibatnya, banyak jamaah jadi mengantuk. Termasuk saya yang beberapa malam ini mata rasanya berat sekali ketika mendengar ceramah. Padahal sudah saya akali dengan minum kopi pekat sebelum ke mesjid.

Kenapa ustadz Irwan Fitri, LC membawa rejeki besar?

Pertama, karena nama depan ustadz ini sama dengan nama saya. Kami sama-sama Irwan. Hehehe. Biasanya kalau orang nama Irwan pintar bercerita (kata orang Makassar, 'Pacarita'). Nggak percaya? Percayalah……Kalau saya salah, mengertilah…….

Kedua, karena ustadz ini ternyata pintar melucu. Obat paling mujarab melawan ngantuk. Wajar kalau sepanjang ceramah jemaah pada melek semua. Bahkan waktu pak ustadz tanya ke saya kalau ia boleh ceramah sekitar 20 menit, dengan semangat saya bilang, “tafaddal, ustadz”.

Ketiga, karena ustadz ini selain pintar melucu, isi ceramahnya juga bermutu. Anda tau tidak? Kalau anda dantang ke sebuah mejelis yang menawarkan ceramah agama, dan anda menyimaknya dengan khusyuk, apalagi mengambil pelajaran dari ceramah itu, maka itu rejeki nomplok. Sudah dinilai ibadah, dapat pahala berlipat ganda, dapat ilmu pula. Dengan begitu kelas anda naik setingkat, sebagaimana kita pahami bahwa orang yang beriman dan berilmu diangkat derajadnya satu tingkat oleh Allah. Bukankan itu rejeki besar?

----------

Makanya pulang-pulang ke rumah dari mesjid, saya putuskan menulis tentang ustadz Irwan Fitri, LC. Saya lagi senang nih, abis dapat rejeki. Moga-moga tulisan ini bernilai sedekah dari rejeki yang baru saya dapatkan. Sebab kalau anda mendapat sebuah hikmah dari balik tulisan ini, dan anda bersyukur karenanya, Insya Allah saya dapat rejeki lagi. Trus kalau anda memutuskan menceritakan hikmah itu kepada orang lain dan orang lain juga bersyukur karenanya, maka anda juga dapat rejeki lagi dan saya tentu dapat rejeki pula. Begitu seterusnya. Bagaimana rejeki kita tidak besar kalau begitu?

Keindahan Kelas Berat


Bismillahirrahmaanirrahiim,

Pembaca setia blog ini.

Allah SWT menjanjikan. Orang-orang yang tulus berpuasa akan mengalami 2 jenis kebahagiaan. Pertama saat berbuka, kedua saat bertemu dengan Tuhannya.

-----------

Hari Rabu (26/9) lalu saya berangkat ke Gorontalo untuk sebuah kerjaan. Ketika memesan tiket pesawat, saya tidak terlalu memperhatikan jadual keberangkatan, berhubung saya sudah sering menggunakan perusahaan penerbangan yang sama dan biasanya jadual terbangnya sering molor sampai pukul 8 malam.

Saya baru sadar bahwa jadual terbang kali ini sangat dekat dengan jadual buka puasa untuk wilayah Makassar, yaitu pukul 18.10. Itu saya sadari ketika saya menelepon Sandi, adik sepupu saya untuk mengabari bahwa saya akan ke Gorontalo. Sandi juga ternyata akan berangkat di hari yang sama, tapi dia memilih penerbangan yang lebih lambat. Kata dia, “Wah, kalau pakai pesawat itu repot kak. Baru buka puasa, makanan belum juga turun ke lambung sudah harus naik pesawat.”

Betul juga pikir saya. Tapi sudahlah. Tiket sudah di tangan dan takdir Allah memang begitu.

Berhubung saya berangkat bersama Bapak serta Om dan Tante saya, saya setuju saja mengikuti saran mereka untuk berangkat ke bandara pukul 15. Dalam hati saya membatin, cepat amat. Ngapain nunggu lama-lama di bandara? Tapi berhubung mereka adalah orang-orang yang sudah berumur, saya tidak mau ambil resiko terlambat atau terburu-buru karena gerak lambat mereka.

Eh, ternyata permintaan para orang tua saya ini membawa hikmah. Jalan macet menuju bandara luar biasa. Perjalanan kami lamban benar. Saat-saat seperti itu, saya bersyukur sekali. Betul kata-kata bijak, dengar nasehat orang tua.

Sesampai di bandara, urusan barang-barang saja sudah makan waktu lagi. Saya mesti tau diri sebagai anak. Sebagai ‘yang paling muda’, apa boleh buat, urusan barang saya monopoli. Barang yang ringan-ringan saja saya izinkan orang tua untuk menenteng. Selebihnya, ‘ana jadi superman’. Hehehe.

-----------

Tidak terasa waktu berlalu, sebentar lagi azan magrib pertanda buka. Rupanya urusan angkat mengangkat barang bikin saya sibuk tidak merasa waktu berlalu cepat. Mata saya, dan banyak pasang mata lain di ruang tunggu bandara kelihatannya berperilaku sama ketika itu, semua menatap layar ke arah yang sama, layar TV yang tersedia. Semua kelihatan khusyu’. Sesekali saya lirik jam handphone untuk memastikan waktunya tepat.

Tiba-tiba terdengar suara petugas informasi melalui pengeras suara yang biasa dipakai mengumumkan serba serbi keberangkatan dan kedatangan pesawat.
“Para pengguna bandara yang kami hormati. Dengan ini kami sampaikan bahwa waktu berbuka puasa bagai kaum muslimin dan muslimat telah tiba. Kami ucapkan selamat berbuka puasa.”

Alhamdulillah. Suara itu terdengar indah. Suara itu menjadi pertanda bahwa kerongkongan kering yang tadinya haram untuk dibasahi, akhirnya menjadi halal. Perut lapar yang tadinya haram diberi makan, akhirnya menjadi halal….

Memang, berbuka puasa di bandara terasa lain dari biasa. Namun tetap terasa indah. Keindahan itu terasa mencapai puncak, ketika secara serentak, orang-orang yang menunggu keberangkatan mengeluarkan bekal makan dan minum mereka dan di mata saya terlihat serentak pula mereka membatalkan puasa.

Air mata kebahagiaan saya nyaris meleleh, ketika di depan saya, seorang calon penumpang lelaki setengah baya, menawarkan bekal buka puasanya yang saya tau tidak banyak (kelihatannya orang ini hanya punya 2 potong roti yang mungkin ia kalkulasi dengan dua potong itu cukup membuatnya tahan menempuh perjalanan) kepada seorang lelaki muda lain di sampingnya. Subhanallah, sungguh adegan yang lebih bermutu dari adegan film peraih Oscar….

Di sudut yang lain, sempat pula saya saksikan seorang Bapak yang sadar bahwa di sampingnya duduk seorang remaja muslim yang tidak membawa bekal apa-apa. Ditawarinya air putih botol satu-satunya yang dimilikinya dan telah diminum sekitar sepertiganya. Si remaja terlihat sangat bersyukur. Kelihatannya ia bingung mau berbuka apa, sebab ia tidak punya bekal apa-apa. Kelihatannya ia seorang mahasiswa yang mau mudik dan duitnya pas-pasan sehingga tidak menyiapkan bekal berbuka (wallahu a’lam). Dengan antusias diterimanya botol air itu dan diminumnya pula sepertiganya. Subhanallah, ini adegan nyata terindah yang pernah saya lihat…….

-----------

Rasa-rasanya saya semakin khawatir. Ketika menulis ini sudah masuk malam 19 Ramadhan. Saya jadi bertanya-tanya, masih akankan saya menemui keindahan-keindahan kelas berat seperti di atas dalam hidup ini? Masih akankah saya jumpai aktor-aktor kawakan yang akan memerankan peran indah nan menyentuh hati?

Mumpung Ramadhan masih berlangsung, pencarianku akan terus berlangsung. Sebab aku suka keindahan. Aku terangsang oleh yang indah-indah. Tapi bukan oleh keindahan murahan bikinan setan. Tapi oleh keindahan hakiki yang membawa extacy abadi. Yang membawa kebahagiaan ketika bertemu Tuhan.

25 September, 2007

Rupanya ini rahasia mereka....


Rupanya ini rahasia mereka….

Pantas selama ini saya selalu bertanya-tanya di dalam hati. Kenapa banyak orang ahli ibadah kok sepertinya tidak bergairah mengejar materi? Padahal sebagai manusia biasa, siapa sih yang tidak ingin makan enak? Siapa sih yang tidak mau punya rumah mentereng lengkap dengan segala fasilitasnya? Siapa sih yang tidak mau pakai baju-baju bagus?

Lha, para ahli ibadah itu bukan orang bodoh. Jangan mentang-mentang mereka hidup sederhana kita anggap mereka sudah kehilangan ‘sense of luxury’. Salah besar, bung! Mereka tau kok mana yang mahal mana yang murah.

Tapi kenapa mereka memilih hidup bersahaja?

Rupanya ini rahasia mereka….

Sehabis sahur tadi malam, ahlinya para ahli, Bapak Quraisy Shihab membedah salah satu ayat dalam surat Al-Imran. Ayat itu rupanya menyinggung orang-orang kafir di zaman Rasulullah SAW. Orang-orang kafir Quraisy yang hidupnya betul-betul berlebih-lebihan sehingga Allah SWT seakan-akan menyentil mereka, “Hey orang-orang kafir! Segala nikmat sudah kamu habiskan di dunia. Jadi buat kamu tidak ada nikmat lagi!”. Masih menurut cerita Bapak Quraisy Shihab, Syaidina Umar RA suatu saat karena sangat haus meminta diambilkan air. Bertepatan dengan beliau akan minum, beliau mendengar sentilan ayat ini, beliau memutuskan untuk menunda minumnya karena merasa tidak ingin menghabiskan seluruh nikmatnya di dunia. Beliau ingin menunda kenikmatan untuk sesuatu yang kekal di akhirat, yaitu syurga Allah SWT.

Rupanya ini rahasia mereka….

Rahasia mereka rupanya menunda kanikmatan. Mubassir dong? Masak ada kenikmatan tapi kita tidak mau menikmatinya?

Salah besar. Para ahli ibadah menunda kenikmatan tapi bukan menyia-nyiakannya. Mereka lebih cenderung membaginya ke orang yang lebih butuh. Mereka merasa kaya dan memang mereka adalah kaya. Kalau bukan kaya di dunia Insya Allah dijamin kaya di akhirat.

Jadi rupanya, rahasia mereka adalah itu. Setelah tau itu saya tidak berhenti manggut-manggut.

“Begitu toh……..?”, dalam bahasa orang banyak.
“Kammanjo paeng di……?”, kata orang Makassar.
“I see…..I see…..”, kata orang bule.
“Naruhodo……”, kata orang Jepang.

24 September, 2007

Petualang Malam


Enggak tau kalau anda lebih tau. Yang saya tau sebatas yang pernah saya alami.

Ceritanya sudah lama. Waktu itu saya masih bujang. Ada urusan bisnis, saya ke Jakarta. Rekan bisnis saya sebagian besar adalah orang keturunan Tionghoa. Bosnya berkebangsaan Malaysia.

Selayaknya para pebisnis metropolitan, sore sebelum pulang ke hotel, oleh Ibu Er (nama saya samarkan) saya dititip pesan, “Pak, ntar malam Bapak dijemput untuk makan malam rame-rame ya pak.” Sebenarnya saya bukan tipe pria malam (suka keluar malam). Saya lebih prefer makan di hotel saja, selebihnya ya tidur. Makanya, selepas shalat Maghrib di hotel, saya telepon Ibu Er, “Bu, maaf, saya kurang enak badan. Mungkin masih capek akibat perjalanan tadi pagi. Saya makan di hotel saja ya. Sampaikan maaf saya sama Bos.”

Alhamdulillah. Malam itu skenarioku lolos.

Tapi keesokan malamnya kelihatannya saya tidak punya alasan lagi untuk menolak ajakan yang sama. Ibu Er sendiri menjemput saya di hotel. “Pak, kita makam malam sambil karaokean yah.” Waduh, pikirku. Dunia begitu bukan duniaku…dalam hati aku membatin. Tapia pa boleh buat. Saya cuman bias manggut-manggut.

Kami akhirnya tiba di sebuah restoran di sebuah sudut ibukota (itu pikirku). Ketika masuk ke dalam, nyata bahwa tempat itu bukan sekedar restoran. Di dalamnya juga terdapat diskotek yang penuh dengan asap rokok. House musicnya minta ampun. Di beberapa sudut saya bias melihat jelas orang-orang yang kepalanya ‘geleng-geleng’, dalam hati saya pikir, “oh ini mungkin yang kata orang lagi fly….”

Jujur dalam hati saya tidak nyaman. Tapi sudahlah. Saya buat nyaman dan terkendali saja. Ibu Er mendekati. “Pak, ini tempat ngumpulnya cewek-cewek keturunan Tionghoa. Kalau ada yang Bapak suka, bisa dipesan lho…” Hahaha…saya senyum-senyum kecut saja. Sebagai lelaki saya sungguh tergoda. Tapi sebagai muslim, saya tak mau tergoda. Selain senyum, saya diam saja tidak menimpali.

Malam itu berlalu. Saya pun berusaha melaluinya. Pengalaman pahit tapi sangat berharga. Malam itu, saya jadi tahu bagaimana ritual para petualang…para petualang malam di ibukota…

---------

Allah SWT telah menerangkan di dalam Al-Quran, bahwa sesungguhnya di balik pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Juga bahwa Allah SWT telah menjadikan siang sebagai waktu bagi manusia untuk mencari nafkah, dan malam untuk beristirahat.

Siang mungkin biasa. Tapi malam. Banyak hal luar biasa yang terjadi. Pengalaman di diskotik ibukota malam itu memperluas wawasan saya bahwa begitu banyak orang memutuskan keluar dari jalurnya dengan memanfaatkan malam bukan untuk beristirahat.

Para petualang malam di diskotik itu sungguh kasihan. Mereka menukar kesunyian malam dengan kehingar bingaran. Mereka menukar kebeningan langit bertabur bintang dengan kekeruhan asap rokok. Mereka menukar hembusan angin malam yang terkendali dengan umbaran nafsu seks yang liar. Mereka menukar kesempatan malam untuk bertobat dengan berbuat dosa….

Nauzubillahi min dzalik……

----------

Bulan Ramadhan adalah bulan termulia di sisi Allah SWT. Bulan ini menawarkan banyak berkah. Oleh Allah SWT, pemegang otoritas tunggal di langit dan di bumi, amalan manusia akan dilipatgandakan pahalanya.

Jika bulannya adalah termulia, maka malam-malam bulan Ramadhan adalah terkhusus. Adalah suatu keuntungan hakiki bagi manusia muslim yang berhasil mendapatkan malam termulia di bulan Ramadhan, yaitu Lailatul Qadar.

----------

Jika ada petualang malam yang mulia, maka para petualang ibadah malamlah mereka. Ketika orang lain asik berselimut, mereka bangkit. Ketika orang lain asik ngorok, mereka bersuara merdu. Ketika orang lain asik bermimpi, mereka justru di puncak kenikmatan berkomunikasi dengan Tuhan mereka..

Sungguh indah berada di sekitar para petualang ibadah malam. Jidat mereka hitam. Bibir mereka senantiasa basah dengan kata-kata pujian kepada Yang Maha Terpuji. Ruku’ mereka ikhlas. Sujud mereka sangat merendahkan diri mereka di depan Yang Maha Tinggi. Tak ada satupun gerakan yang tidak mereka nikmati.

Tak ada musik mengiringi. Tak ada hingar bingar. Tak ada nafsu yang diumbar.

----------

Malam memang penuh misteri. Kegelapannya bisa menawarkan banyak keindahan. Keindahan yang bisa semu dan meracuni, tapi bisa pula hakiki dan abadi.

Ini semua terbalik ke anda. Ini masalah pilihan. Pilihan senantiasa menawarkan kesempatan dan resiko. Namun sesungguhnya yang baik itu sangat jelas bedanya dari yang buruk. Sebagaimana bisa dijumpai dalam bahasa Al-Quran:

- Samakah orang buta dengan orang melihat?
- Samakah orang tuli dengan orang mendengar?
- Samakah orang yang diberi petunjuk dengan orang yang sesat?

Pilihannya sesungguhnya jelas. Namun ketika hati diliputi kemudharatan, dan petunjuk Allah tidak kunjung datang, percayalah, pilihan sesederhana itu bisa jadi sulit dan membingungkan sepanjang masa.

Wahai manusia malam. Jika kegelapan malam menarik hati anda, maka jadilah petualang malam yang benar. Jadilah petualang ibadah malam. Petualang yang perkasa. Petualang yang dibangga-banggakan Allah SWT.

Betapa bangganya…….


Note: Gambar diambil dari sini

23 September, 2007

Tentang aku, kau dan anak kita


Kemarin untuk pertama kali selama Ramadhan ini saya bawa si Ai (anak laki-laki saya) ikut berbuka puasa bersama ke mesjid. Terakhir Ai ikutan ke mesjid hampir setengah bulan lalu ketika kami sekeluarga ikut acara pengajian rutin malam jumat. Ai, waktu itu, seperti biasa, memimpin teman-temannya menjadi ‘gerombolan si ribut’ dengan berbagai suara teriakan mereka sambil berlarian keluar masuk mesjid.

Karena ‘lama’ tidak bertemu dengan teman-temannya, kemarin saya memutuskan untuk membawa Ai. Saya terkejut geli ketika sampai di depan mesjid, masih di dalam mobil, Ai melalui jendela berteriak pada kawanan teman-temannya yang rata-rata berumur 3 ~ 5 tahun, “Kakaaaaaaak……! Ini aku!”….hahaha….di mana pula dia belajar kata-kata itu….kayak dialog film-film Bollywood saja, pikirku.

Belakangan ini kosa kata Ai memang bertambah pesat. Ia sangat banyak meniru yang dilihat atau yang didengarnya.

Hanya saja, ada satu yang membuat saya khawatir. VCD kesukaannya salah satunya adalah seri-seri Ultraman (Utraman Dyna, Ultraman Gaia, Ultraman Max, dll). Saya perhatikan, dia sudah mulai meniru-niru gerakan pahlawan kesukannya itu. Sampai-sampai, saya sendiri pernah diterjangnya ketika sedang baring di tempat tidur.

Saya ingatkan anda, pembaca sekalian, hati-hatilah dengan tontonan anak-anak anda. Kalau tidak bias bahaya….

-----------

Tulisan ini khusus untuk suami istri.

Bicara tentang anak, kita juga mesti hati-hati kalau mau bertengkar. Yah, namanya juga manusia, wajarlah kalau sekali dua kali dikali beberapa kali (hehehe) ada pertengkaran dalam rumah tangga. Saya sendiri mengalami kok. Tapi Alhamdulillah, di dalam rekam jejak (track record) pertengkaran kami, sepanjang yang bisa kami inventarisir, belum atau Insya Allah tidak akan ada barang-barang yang pecah atau rusak. (Pernah sekali nyamuk yang tidak tau diri bahwa kami sedang bertengkar tiba-tiba hinggap di hidung saya….saya timpuk habis sebagai pelampiasan….hehehe….sang nyamuk mati, hidungku pun sakit…)

Tapi kalau mau bertengkar, terutama yang punya anak, pilih waktu dan tempat yang benar.

Lho, bertengkar itu juga mesti pakai seni, saudara-saudara. Sekarang saya tanya, anda kalau bertengkar, mau cepat selesai atau mau berlama-lama? Aneh kalau anda pilih mau berlama-lama. Berarti anda termasuk penggemar atau hobi bertengkar.

Nah, ini saya kasih jimat anti bertengkar. Insya Allah dengan jimat ini pertengkaran anda tidak akan berlangsung lama. Paling setengah ronde juga pasangan bertengkar anda sudah akan KO.

Jimat ini asli lho. Dapatnya dari orang pintar dan terkenal mumpuni. Orang pintar ini juga dapatnya dari orang pintar lain. Pokoknya sudah saya telusuri riwayat jimat ini, dan para ahli sepakat bahwa jimat ini tergolong mumpuni shahih…

Akan saya transfer ke anda sekarang juga.

Berikut caranya. Tolong anda pergi berwudlu. Setelah berwudlu, lakukan shalat sunnat wudhu 2 rakaat. Setelah itu, siapkan kertas kosong ukuran 10 cm x 10 cm. Letakkan di atas meja di depan anda. Selanjutnya, lipat 2 kertas itu. Hasil lipatannya anda lipat 2 lagi. Begitu seterusnya sampai lipatannya sudah tidak bisa dilipat lagi. Kantongi jimat ini dan pastikan bahwa kalau anda akan bertengkar dengan suami atau istri, anda bisa meraih dan menggunakannya kapan saja.

Cara penggunaan. Ketika keadaan sudah memenuhi syarat disebut sebagai pertengkaran, ketika suami atau istri anda sudah mulai ngomel ngalor ngidul nyebut macam-macam, maka di sinilah saat yang paling tepat untuk mengeluarkan jimat mumpuni anda! Sebelum menggunakan, bacalah ‘Audzubillahi minasysyaitoonirrajiiimm’…selanjutnya keluarkan jimat dan gigit keras-keras (bukan dikunyah!) dengan gigi bagian depan anda. Pokoknya lakukan ini sepanjang suami atau istri anda masih ngomel-ngomel (kata orang Makassar: ‘pote-pote’). Kalau ngomel-ngomelnya semakin keras, gigit jimat anda semakin keras pula. Insya Allah, ngomel-ngomel suami atau istri akan berakhir cepat sebelum satu ronde. Selesai.

---------

Hahaha….serius amat mau pake jimat bertengkar…

Orang bertengkar itu ditunggangi setan. Makanya lihat warna muka orang kalau lagi bertengkar, merah kan? Itu karena setan dibuat dari api. Makanya dengan menunggangi orang yang lagi marah, warna setan kelihatan jelas.

Bapak-Ibu, kalau suami sedang marah, berarti ia sedang jadi api yang berapi-api. Nah, kalau lagi begini, ibu jangan jadi bensin dengan menimpali omelan suami. Mendingan ibu-ibu diam sambil menggigit jimat. Kalau kebetulan lagi megang HP yang berkamera, mending muka suami dipotret close up, ntar kalau marahnya sudah selesai, perlihatkan hasil potretnya….hahaha….

Saya bukan penasehat perkawinan lho. Saya saja juga sering minta nasehat perkawinan dari orang yang lebih ‘berpengalaman’. Bukan berpengalaman kawin….hehehe…tapi berpengalaman mengendalikan amarah mereka kalau lagi marah. Soalnya, kalau suami istri lagi bertengkar, itu bukan masalah suami istri itu saja. Anak pun bisa ikut-ikutan susah.

Jadi, Bapak-Ibu, suami-istri, saudara-saudari, kalau mau bertengkar, pilih waktu dan tempat yang tepat, juga pakai cara yang tepat, dan ingat selalu, camkan dalam hati bahwa ini bukan sekedar aku dan kau, “Ini tentang aku, kau, dan anak kita….” Jadi, hati-hati….

18 September, 2007

Tekadku sudah bulat!


Insya Allah semakin bulat tekadku. Ini gara-gara kopiah. Sudah berapa hari ini selama Ramadhan saya berkopiah ke kantor. Sebenarnya di rumah juga biasanya kalau Ramadhan saya sering berkopiah. Rasanya senang aja. Saya jadi lebih termotivasi dalam beribadah. Pokoknya asal ada waktu luang, saya gunakan untuk ibadah. Paling sering baca Quran.

Gara-gara kopiah, beberapa pelanggan yang masuk ke kantor kami menyapa saya dengan sebutan ‘Pak Haji’. Saya sih diam saja disapa begitu. Dalam hati rasanya geli, karena saya belum haji. Saya lirik staf saya yang mendengar saya disapa begitu, juga senyum-senyum.

Ini bukan kejadian pertama. Dulu juga pernah begitu. Semuanya gara-gara kopiah. Waktu ‘aku tak biasa’ dengan insiden ini, saya protes. ‘Maaf, saya belum haji, jadi tolong jangan panggil dengan sebutan ‘Pak Haji’”….protesku. Tapi jawaban seorang pemanggil menggelitik simpul harapanku untuk menerima ‘insiden’ ini dengan justru hati berdoa.

“Wah, pak. Kalau dipanggil ‘Pak Haji’ yah terima saja. Kalau Bapak belum haji juga tidak apa-apa. Bapak bilang ‘amin’ saja dalam hati biar jadi kenyataan. Mana tau di sekitar Bapak lagi ada malaikat lewat juga ikut meng’amin’kan, nanti Bapak bisa naik haji beneran karena doa itu…”

Betul juga pikir saya. Makanya sejak saat itu, saya tidak pernah protes lagi. Bahkan jujur harus saya akui, salah satu motivasi saya pakai kopiah ke kantor akhirnya bertambah satu, “biar terjadi insiden ‘mendoakan’ oleh para pelanggan”, pikirku.

-----------

Insiden serupa tapi tak sama juga terjadi ketika saya lagi senang-senangnya pakai baju koko kemana-mana. Waktu itu ada kakak ipar dapat hadiah baju koko dari saudaranya. Setelah dicoba, ternyata dia kekecilan. Jadilah baju koko itu dihibahkan ke saya.

Kebetulan warnanya putih. Warna ini bagi saya adalah warna ibadah. Mbok ya ibadah itu bagusnya putih bersih, melambangkan ketulusan dan kemurnian. Bukan karena pamrih atau riya. Makanya kalau lihat ustadz datang ceramah ke mesjid dengan pakaian serba putih, saya jadi terobsesi juga.

Walhasil baju koko hibahan kakak ipar sering saya pakai ke mana-mana. Selain warnanya yang putih, model dan motifnya juga bagus dan memang cocok untuk kegiatan selain ibadah. Atau mungkin tepatnya, baju ini semakin mempertegas motivasi saya untuk ‘mengibadahkan’ semua aktifitas lain termasuk pekerjaan.

Nah, bermodal baju koko putih ke mana-mana, ditambah saya termasuk ‘pemelihara janggut amatiran’ (saya bilang amatiran karena janggut saya tidak panjang-panjang amat seperti para pemelihara janggut professional), orang ternyata menangkap citra lain. Terjadilah insiden saya dipanggil dengan sebutan ‘ustadz’. Hahaha….

--------

Gara-gara kopiah dan baju koko di atas, saya jadi belajar satu hikmah. Bahwa memang dunia ini penuh dengan simbol-simbol yang melambangkan kebaikan dan kebukurukan.

Orang berkopiah, berbaju koko, sekaligus berjanggut kelihatannya memenuhi syarat simbol-simbol yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ustadz. Masak ‘rocker’ sih? Mana ada rocker kalau tampil sehari-hari pakai kopiah, baju koko, dan berjanggut?

Citra memang belum tentu sesuai kenyataan. Tapi paling tidak, citra bisa menjadi pintu gerbang sebelum masuk ke dalam hati seseorang yang sesungguhnya. Ketika pintu gerbangnya ‘rada aneh’ maka besar kemungkinan kita ‘berprasangka’ aneh pula.

Cerita tentang prasangka, sekarang banyak orang ikut seminar bayar mahal di hotel berbintang sekedar untuk belajar bagaimana menghindarkan diri dari prasangka lho…

Kalau saya pendekatannya sederhana. Pertama, dalam Islam kita memang dilarang berprasangka. Jadi sebenarnya nggak usah bayar mahal untuk kuasai ilmu ‘bebas prasangka’ ini. Rajin-rajin aja ikut pengajian pak ustadz. Ustadz kelas kampungpun ilmunya pasti sama kok dengan ustadz kelas hotel bintang lima. Semuanya akan bilang, “Jemaah sekalian, berprasangka buruk itu dilarang dalam Islam….”

Kedua, berhubung menghilangkan prasangka itu susah, apalagi banyak orang memang malas menghadiri pengajian, maka mending kita jauh-jauh aja dari hal-hal yang membuat orang berprasangka buruk tentang kita. Istilah dakwahnya, ‘mari kita menghindari fitnah’. Jadi, daripada daripada, lebih baik lebih baik….

---------

Sekarang, sekali lagi, tekadku sudah bulat. Pernyataan kebulatan tekad ini semua gara-gara kopiah. Bahwa sesering mungkin saya akan pakai kopiah ke kantor atau ke mana-mana. Supaya ‘insiden’ saya dipanggil Pak Haji bisa lebih sering terjadi. Supaya setiap kali saya dipanggil begitu saya akan bilang ‘amiin’ dalam hati. Dan supaya Insya Allah dengan begitu pula Allah mengabulkan doaku…..agar suatu saat saya juga bisa naik haji…..

Pokoknya, tekadku sudah bulat! Insya Allah…..

13 September, 2007

Pengganti SMS: Marhaban Yaa Ramadhan


Bismillahirrahmaanirrahiim,

Pembaca penghaus hikmah yang Insya Allah dapat petunjuk dari Yang Maha Pemberi Petunjuk. Jika ada gawean terbesar di kalangan ummat manusia, gawean Ramadhan tentulah yang paling besar.

Gawean ini bukan sekedar besar. Gawean ini mulia. Ini tentang kita manusia dengan Allah Sang Pencipta.

---------

Seperti biasa setiap memasuki bulan Ramadhan, HP saya senantiasa berdering. Pertanda banyak SMS masuk. Anda tahu, ini termasuk satu momen yang saya tunggu-tunggu. Berbagai pesan permohonan maaf untuk terus mengencangkan silaturrahim ditulis dengan rapih dan indah.

Situasinya sungguh berbeda dengan dulu ketika orang sekedar menulis “Mohon maaf lahir bathin.” Kini meskipun esensinya sama, para kolega seakan berlomba untuk indah seindah-indahnya. Mungkin memang, memasuki Ramadhan, bulan yang menawarkan keindahan murni, pengaruhnya dahsyat.

Ini salah satu contoh:
“Jika semua harta adalah racun, maka zakatlah penawarnya. Jika seluruh umur adalah dosa, maka tobat adalah obatnya. Jika seluruh bulan adalah noda, maka Ramadhan adalah pemutihnya. Marhaban ya Ramdhan, mohon maaf lahir bathin. Semoga ibadah kita di bulan ini berlangsung khusyuk.”

Pesan di atas dikirim oleh seorang kolega. Belum-belum saya sudah merasa sesak. Belum-belum saya sudah merasa sentimentil. Belum-belum saya sudah merasa bak seorang pujangga. Dunia ini indah dan bertambah indah tak habis-habis.

Teman saya yang lain dan saya tahu adalah pembaca setia blog ini mengirim dalam bahasa Inggris:
“Liberating the heart can be attained through 4 virtues: Humility before Allah alone, needing Allah alone, fearing and respecting Allah alone, and hoping from Allah alone.”

Pesan di atas sungguh berbeda dari banyak pesan lain yang saya terima. Tidak ada kata permohonan maaf. Tapi bagi saya, tanpa kata itupun sudah seharusnya memberi maaf itu dibudayakan. Jauh lebih penting lagi, pesan ini singkat tapi bermakna panjang. SMS serasa bukan singkatan yang tepat untuk menggambarkan pesan ini. Mungkin lebih tepatnya ‘Short Message but Long Meaning’ (SMLM).

---------

Ramadhan adalah tamu penting. Segala aji penyambut tamu terbaik, keluarkanlah! Jika saja Ramadhan adalah ‘seorang aktor’, mungkin tidak ada ‘red carpet’ yang cocok untuk menyambut kedatangan ‘aktor ganteng serba bersih’ ini. Jika saja bungkuk ala Jepang ‘o-jigi’ kita anggap maksimal dalam menghormati tamu, mungkin tidak ada sudut bungkuk maksimal untuk bisa menghormati tamu Allah ini.

Saya terkesan oleh suguhan Harun Yahya di dalam tayangan videonya. Sebuah kutipan yang sangat berarti terus mengiang di telinga saya.
“Kebesaran Allah sungguh terlihat dalam berbagai hal yang kecil”.

Coba resapi kutipan ini. Biarkan dia larut dalam hati. Biarkan ia memutihkan hati kita yang hitam kelam. Biarkan ia membawa ‘rasa garam’ terhadap pengabdian kita yang ‘hambar’ selama ini.

Sungguh. Saya bingung. Saya terharu. Saya kaku. Ingin kusambut Ramdhan ini dengan sambutan terbaik. Namun apa pula yang sebanding baiknya dengan bulan Allah yang terbaik ini? Aku terlalu miskin di hadapan Allah. Aku terlalu kecil di hadapan Allah. Aku kehabisan kata-kata…….

Marhaban ya Ramadhan……..
Mohon maaf lahir bathin. Irwan, Ai, Heni

(Pesan ini sejatinya ingin kami kirim melaui SMS. Tapi setelah kami timbang-timbang, kayaknya pesan ini kepanjangan. Biar kami kirim lewat Blog ini saja. Mohon diterima)

11 September, 2007

Mau dong punya bukit.....


Pernah saya tulis tentang bilangan besar dan bilangan kecil. Waktu itu, untuk Allah SWT Yang Maha Besar, maka saya dedikasikan ke-besar-an itu hanya kepada Allah. Tapi saya lupa, Allah tidak menciptakan sesuatu itu sia-sia. Tidak ada dalam kamus-Nya seperti itu. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu yang kecil sekalipun. Makanya salah satu sifat-Nya adalah Maha Halus. Maksudnya, Allah tahu apapun itu dalam tingkatan yang paling halus sekalipun.

Tulisan ini tentang bilangan kecil.

Dulu saya malas menabung. Rasanya saya terlalu memandang enteng kalau harus menabung duit dan jumlahnya keci-kecil saja. Setiap mau menabung dan jumlahnya tergolong ‘kecil’, dalam hati terasa ada perasaan melecehkan, “Ini menabung kecil-kecil begini untuk apa? Kapan besarnya? Mana bisa beli rumah dengan jumlah kecil-kecil begini?”

Jadi tekad saya adalah menunggu hasil kerjaan ‘besar’, kemudian menabung sekaligus. Hasilnya? Hahaha, nggak pernah bisa nabung karena jarang dapat ‘kerjaan besar’!

Alhamdulillah ajaran Islam itu lengkap dan menyadarkan, bagi orang yang mau sadar……..(kalau memang dari sononya tidak mau sadar, sampe mati pun nggak bakal sadar saudara-saudara!)

Rasanya saya tersindir oleh ceramah seorang ustadz. Kata pak ustadz, “Bapak-bapak, Allah dalam menilai ketaatan dan pengabdian seorang hamba tidak bergantung kepada kuantitasnya. Tapi yang terpenting adalah konsistensi dan keikhlasannya dalam beribadah.”

“Ambil contoh shalat tahajjud. Allah jauh lebih menyukai orang yang hanya mampu bangun dan mengerjakan shalat tahajjud 2 rakaat setiap malam dan berkelanjutan (konsisten dijaga), daripada orang yang dalam setahun hanya shalat tahajjud di suatu malam dan jumlah rakaatnya 100!” begitu lanjut pak ustadz.

Terus pak ustadz memberi kesimpulan, “Artinya, amalan apapun itu, baik shalat sunnat, puasa sunnat, sedekah, dan lain-lain, jangan dinilai besarnya, tapi konsistensi kita dalam menjalankannya meskipun itu kecil.”

Entah mengapa uraian di atas justru membuat saya mengevaluasi kebiasaan menabung saya. Mungkin sudah begitu kehendak Allah dalam memberi petunjuk. Saya jadi berpikir, soal menabung sepetinya sama saja. Yang terpenting bukan berapa besar yang kita tabung, tapi konsistensi kita menabung secara regular.

Ini bukan sekedar 'yang penting menabung......'. Ini juga erat hubungan dalam membentuk mental atau kebiasaan suka menabung. Nanti ujung-ujungnya bisa berentetan kebaikan yang kita dapat.

Kalau metal suka menabung sudah didapat, otomatis muncul juga mental ‘hemat’. Mana ada orang suka menabung yang tidak hemat? Justru karena hemat lah ia bisa menabung.

Trus apa? Masih ada. Orang yang suka menabung adalah orang yang suka menghargai apapun. Alias tidak boros. Anda pernah ‘rasa’ kan kalau membeli sesuatu dari hasil keringat sendiri yang ditabung? Anda pasti akan menghargai benda yang anda beli.

Tidak berhenti sampai di situ, orang yang suka menabung Insya Allah bersikap mandiri. Mungkin terpengaruh dari kegigihannya dalam menabung dan mengumpulkan uang untuk target-target tertentu.

-----------

Sejak dengar ulasan ustadz itu manajemen keuangan pribadi saya ubah. Berapapun itu saya mesti mencoba konsisten untuk menabung. Bahkan kalau itu hanya ‘uang receh’ sekalipun.

Tapi saya sekarang penasaran. Kalau filosofi ini diterapkan dalam pembangunan, mestinya negara kita tidak perlu pakai jurus ‘anggaran berimbang’ atau bahkan ‘anggaran minus’. Anggaran berimbang kan berarti pemasukannya sama dengan pengeluarannya. Kalau anggaran minus berarti pengelurannya lebih besar daripada pemasukannya. Kekurangan pemasukan ditutupi dari utang, seperti negara kita sekarang.

Kalau saja filosofi ini diterapkan oleh pemerintah, saya yakin bin percaya angka kemiskinan berkurang. Bukan sekedar ditekan (termasuk ditekan di atas kertas supaya pemerintah yang berkuasa tidak terlihat bodoh dan malu-maluin). Program pengentasan kemiskinan dibiayai dari tabungan. Dengan begini harga diri bangsa juga bisa terangkat. Jangan seperti sekarang yang justru sebaliknya. Pemerintah seperti bingung mau membangun pakai uang dari mana. Akhirnya, apa-apa dari bangsa ini lantas digadaikan. Termasuk juga harga diri……

------------

Sekarang, kalau sudah tahu bahwa menabung itu adalah masalah konsistensi, yuk kita konsisten untuk menabung. Biar jumlahnya kecil-kecil tidak mengapa. seperti kata pepatah, 'lama-lama juga jadi bukit." Mau dong punya bukit.........

06 September, 2007

Ex-Muslim, Muslim kembali?


Pernah. Mungkin timing-nya tepat ketika seorang lelaki penjaja jasa pijat mengetuk pintu kamar kos-kosan saya (waktu itu saya masih bujang) dan saya sedang pilek. Badan memang sakit semua, jadi dengan senang hati saya terima penawaran jasa lelaki ini.

Tukang pijat yang mengaku bernama Syahrul ini terlihat sopan sekali. Sebelum mulai, ia minta izin ke saya, “Pak, sebelum mulai boleh saya berdoa sesuai kepercayaan saya?”. Saya bilang saya tidak keberatan.

Ia mulai berdoa. Dari doanya, saya tahu bahwa dia adalah seorang Kristen katolik. Sedikit berkernyit kening saya, sebab ia bernama ‘Syahrul’, nama yang sejatinya banyak dipakai orang Muslim. Tapi mungkin karena saya terlalu letih, plus bagi saya tidak sopan untuk bertanya hal-hal seperti itu, maka saya memutuskan menutup mata untuk menikmati jasa pijat saja.

Rupanya Syahrul orangnya suka bicara. Tanpa saya tanya ia banyak bercerita. Uniknya, yang dia ceritakan justru pertanyaan yang tidak saya tanyakan di atas.

“Dulu saya Muslim pak.” Oh ya? Celutuk saya.
“Saya bahkan pentolan remaja mesjid. Sehari-harinya di mesjid.” Tentu saja, saya jadi bertanya kenapa ia jadi murtad?

“Saya rajin tahajjud pak. Bahkan bisa dibilang banyak ibadah sunnat saya laksanakan seperti wajib. Tapi ada satu yang terus menghantui pikiran saya. Bagaimana sesungguhnya zat atau wujud Tuhan itu?” Hmmmm, pikir saya.

“Suatu saat saat saya tahajjud sambil memikirkan zat Tuhan, rasanya saya mendengar suara, ‘Hai orang yang sedang beribadah, ubahlah cara ibadahmu!’ begitu bunyi suara itu pak.” Dalam hati saya mulai tertarik.

“Setelah mendengar suara itu saya jadi bingung. Besok-besoknya saya bertanya pada banyak ustadz, tapi tidak ada satupun yang memberi jawaban memuasakan.” Masak sih? Pikir saya.

“Suatu hari saya dengan hati kosong jalan-jalan ke depan sebuah katedral. Kebetulan di depan katedral berdiri seorang pendeta. Saya diajak mampir. Saya cerita perihal mimpi saya. Pendeta itu bilang bahwa sesungguhnya suara itu meminta saya untuk berubah dari Islam menjadi Kristen. Saya pikir, mungkin ini benar. Maka jadilah saya sekarang seorang katolik.” Wah, menyedihkan, pikir saya.

--------

Kemudian saya mulai buka mulut. Walaupun sebenarnya malas karena badan capek. Saya tanya, “Setelah kamu jadi katolik, bagaimana perasaan kamu?”

“Saya merasa lebih tenang pak. Saya sekarang rajin beribadah ke gereja”, jawabnya.

Saya tanya lagi, “Trus, apa saja hal-hal baru yang kamu rasakan dalam agama baru ini?”

“Saya sekarang rasanya lebih dermawan. Ini sesuai dengan ajaran gereja. Rasa-rasanya, semakin banyak saya memberi, rejeki saya juga semakin besar. Makanya saya merasa lebih tenang sekarang.” Jawab Syahrul dengan semangat.

Sekarang giliran saya yang bicara banyak, pikir saya. “Rul, kamu tau tidak bahwa di Islam, ajaran tentang menjadi dermawan itu jauh lebih lengkap? Dalam Islam, jangankan dengan harta, bersedekah itu juga bisa dengan senyuman. Islam mengaturnya bahkan sampai sejauh itu.”

Kelihatannya Syahrul mencoba mengingat-ingat ajaran-ajaran Islam yang dulu diyakininya. Pijitannya tidak sekuat sebelumnya. Saya yakin dia mulai berpikir.

Sekarang saya tantang dia, “Rul, kamu cari di agama baru kamu, ajaran yang tidak kamu temui dalam Islam, kecuali tentang konsep Tuhannya yang sudah pasti berbeda. Coba saja kamu pikir-pikir.”

Kelihatannya tantangan saya bikin Syahrul mesti berpikir keras. Dia bahkan berhenti memijit. Tapi dia belum ngomong apa-apa.

Saya lanjut. “Menurut saya, kalau betul kamu mendengar suara seperti yang kamu bilang waktu dulu masih Islam, mestinya suara itu teguran kepada kamu. Kamu kan tahu, dalam Islam, kita dilarang keras berpikir atau bertanya tentang zat atau wujud Tuhan itu bagaimana. Orang bisa jadi gila kalau mikir itu. Mestinya suara ‘Ubahlah cara beribadahmu!’ jangan kamu artikan mengubah agamamu. Tapi betul-betul beribadah bukan untuk memikirkan zat Tuhan.”

Saya lihat muka Syahrul jadi merah pucat. Pucat pasi. “Astagfirullah, bapak benar.” Entah Syahrul sadar atau tidak bahwa kata-katanya barusan sama sekali bukan kata-kata orang Kristen. Sampai di sini saya diam saja.

Syahrul gantian yang bicara. “Wah, sepertinya bapak benar. Sekarang saya harus bagaimana pak?”

“Rul, saya tidak mau bicara bohong. Setahu saya, dosa syirik karena menyekutukan Allah atau karena keluar dari Islam itu tidak termaafkan. Tapi berhubung tobat itu urusan hamba langsung dengan Allah, kamu syahadat aja lagi sekarang dan tobat langsung kepada Allah. Urusan diterima atau tidak, itu belakangan. Yang penting kamu tobat dulu.”

-----------

Sejak saat itu Syahrul yang dulu ex-Muslim menjadi Muslim kembali. Sekali dua kali dia masih menghubungi saya. Setelah itu lama saya tidak dengar kabar tentang dia. Sampai suatu saat, rasa-rasanya saya kepingin dipijat lagi, saya coba telepon dia. Syahrul tidak di rumahnya.

Tiba-tiba, suatu hari saya terima telepon dari Syahrul. “Assalamu alaikum pak”. Setelah menjawab salamnya, saya tanya bagaimana kabar dia.

“Wah, saya sekarang lebih banyak di Jeneponto (nama kabupaten, sekitar 4 jam perjalanan mobil dari kota Makassar) pak. Saya dikontrak sebuah mesjid untuk jadi imam selama Ramadhan ini.”

Dalam hati saya bingung mau bertingkah bagaimana. Orang yang pernah murtad dikontrak jadi imam?

Tapi saya memutuskan untuk mengucapkan selamat dan membesarkan hatinya untuk terus berkarya di jalan agama. Tidak dalam posisi saya untuk menjatuhkan vonis ke dia, pikir saya.

Pengalaman ini membuat saya senang sekaligus sedih. Senang karena saya telah mengembalikan seorang yang pernah melenceng dari jalan lurus kembali ke jalan yang benar. Tapi sedih karena ini kenyataan. Bahwa banyak orang mengaku Muslim tapi beribadah dengan cara yang salah. Parahnya kalau kesalahan ini fatal, bisa mengeluarkan orang dari keyakinannya.

Baguslah kalau kita yang ‘masih Muslim’ untuk banyak berpikir dan berserah diri kepada Allah. Sambil kita bertanya dalam hati, “sudahkah saya beribadah dengan cara yang benar?” Kemudian yang terpenting dari segalanya, ‘Bertanyalah kepada orang yang benar ketika anda berstatus ‘tidak tahu’. Soalnya, salah bertanya, anda bisa terjerumus ke jalan yang salah.’ Naudzu billahi min dzalik.

04 September, 2007

2 Hablun


Subhanallah!

Tadi barusan istri saya cerita ke saya. Katanya dia diajak main curang oleh orang dalam suatu urusan. Tentu saja istri saya menolak. Apalagi terungkap bahwa kalau main curang dilakukan, orang yang kena rugi masih kenalan istri saya. Semakin tegas dia menolak. Katanya, selain tidak mau main curang, saya tidak mau merusak hubungan baik saya dengan orang itu.

Setelah cerita itu saya masih berpikir-pikir.

Masalah menolak main curang itu satu hal. Setau saya, bagi kita Muslim, kekuatan iman tentu akan menjadi benteng penolak untuk main curang. Makanya kalau masih ada Muslim yang main curang, besar kemungkinan imannya belum segitu kuat untuk membentengi dirinya untuk main curang.

Masih ada yang berkesan sebagai hikmah dari cerita istri saya. Status ‘kenal’ terhadap seseorang ternyata juga menjadi penegas untuk menolak main curang.

Sekali lagi terbukti betapa indah ajaran Islam. Rasulullah SAW dari sulu menggaris bawahi, bahwa sebagai manusia, kita perlu menjaga 2 hal. Satu, hablunminallah, hubungan kita dengan Allah. Ke dua, hablinminannas, hubungan kita dengan sesama manusia.

Nah, cerita istri saya di atas erat hubungannya dengan hablunminannas.

******

Dunia tempat kita hidup belakangan ini memang banyak berubah. Banyak yang sudah terekayasa. Ketika saya tinggal di Jepang, saat itu lagi ramai-ramainya orang bicara tentang ‘tamagocchi’. Ini adalah permainan elektronik yang dianggap seperti piaran hidup, yang layaknya piaraan lain perlu dikasih makan, diajak bermain, diobati, diminumkan susu dan macam-macam perlakuan lain.

Jangan heran kalau dari anak kecil hingga orang dewasa di Jepang, belakangan menjalar ke banyak negara di benua lain, tergila-gila tamagocchi. Mereka bisa menyalurkan obsesi ‘memelihara’ mahluk hidup, walaupun benda yang dipelihara sesungguhnya hanya program komputer.

Saya geleng-geleng kepala ketika menonton sebuah acara tengah malam di sebuah TV swasta di Jepang, mereka menyiarkan acara pemakaman tamagocchi yang ‘mati’ (dengan kata lain gagal dipelihara oleh si empunya permainan). Hebohnya lagi, ada ‘kuburan tamagocchi’. Mereka yang peliharaannya (kebanyakan diberi nama sesuka pemiliknya) mati, boleh mendaftarkan jasad peliharaannya di kuburan ini, dan mesti membayar.

Saya sendiri merasakan bagaimana gemparnya orang-orang ketika sedang melihat-lihat pajangan CD di sebuah record store di Jepang, tiba-tiba diumumkan bahwa toko itu mengadakan penjualan tamagocchi dan orang akan dilayani sesuai urutan antrian. Wah, gaduh ribut bercampur kocar kacir orang-orang berebutan antri. Saya cuman bisa bengong. Padahal, kalau saya ikut rebutan, mungkin posisi antri saya bisa paling depan karena saya memang berdiri tidak jauh dari kasir…..hahaha…..lucu kalau ingat waktu itu.

Itulah Jepang, negara yang penuh dengan rekayasa……..

*******

Sungguh disayangkan kalau 2 ‘hablun’ pada bagian pembukaan tulisan ini juga direkayasa.

Ada orang, tiba-tiba muncul di TV bahwa hablunminallahnya bagus. Ke mana-mana pakai peci. Orang pergi umrah setiap tahun diam-diam, dia baru mau berangkat umrah pertama saja sudah rebut-ribut di media massa.

Begitu juga ada yang tiba-tiba muncul di TV bahwa hablunminnasnya bagus. Dikesankan bahwa ia sering berkunjung ke panti asuhan. Di depan kamera peluk-peluk anak yatim.

Sungguh sayang kalau soal ‘hablun’ direkayasa. Padahal Tuhan sendiri sudah tegasakan. Kalau kau mau untung, banyak-banyaklah kau mengingat Allah. Kalau kau mau panjang umur, banyak-banyaklah kau bersilaturrahim.

Nah kalau hablunnya direkayasa, saya khawatir, janji Tuhan tidak berlaku. Bukannya dapat untung malah dapat buntung. Bukannya panjang umur malah banyak musuh, dicaci maki orang, ujung-ujungnya, bisa cepat almarhum.

Semoga tidak.

02 September, 2007

Puasalah!


Bismillahirrahmaanirrahiim,

Sungguh berlimpah ruah tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, bagi orang-orang yang mau membacanya. Baca satu di antaranya, adalah hasil ciptaan-Nya yang berpasang-pasangan. Ada laki ada perempuan. Ada jantan ada betina. Ada besar ada kecil. Ada panjang ada pendek. Untuk mendata pasangan-pasangan ini saja kita bisa membuat beberapa jilid kamus. Bahkan mungkin tak akan ada habis-habisnya……..wallahu a’lam.

Saya heran, mengapa manusia tidak mengambil hikmah dan mencoba menyontek sifat-sifat Allah sebatas derajat kemanusiannya. Kalau Allah itu Maha Kasih, mengapa pula kita tidak saling mengasihi. Kalau Allah Maha Pemberi Maaf, mengapa pula kita tidak senantiasa mengedepankan pemberian maaf.

Ciptaan Allah yang berpasang-pasangan mestinya juga patut dicontoh.

Entah mengapa pemerintah Indonesia paling enggan menyontek sifat Allah. Padahal presiden dan wapres kita sepanjang sejarah Indonesia berdiri senantiasa muslim.

Itu coba lihat bagaimana harga-harga sembako di Indonesia hanya kenal kata ‘naik’ harga. Tidak pernah dengar saya pemerintah mengumumkan ‘turun’ harga.

Prihatin benar.

Dalam sehari kemarin, bukan satu dua kali berita tentang kenaikan harga diberitakan media. Hari saya dibuka oleh berita kelangkaan minyak tanah. Di beberapa daerah orang ngantri panjang. Masya Allah……..Kasihan amat. Indonesia yang dikenal dunia sebagai produsen minyak, yang minyaknya diekspor ke luar negeri, di dalam negeri sendiri malah ngantri.

Setelah itu ada berita tarif tol naik. Masalah jalan tol, kelihatannya pemerintah pintar bikin prioritas. Sayang prioritasnya salah tempat. Kalau jalan tol saja, rajin dibangun karena orang lewat mesti bayar. Tapi jalan umum bebas hambatan (freeway), mana ada?

Belum sempat tarik nafas, ada berita kenaikan lain lagi. Menurut salah satu TV swasta, di mana-mana harga beras sudah merangkak naik. Saya suka karena TV swasta masih pakai kata ‘merangkak’, paling tidak bikin suasana hati sedikit dingin dan tidak panik. Padahal mungkin yang sebenarnya sudah bukan merangkak, lebih tepatnya ‘melangkah lebar’.

Lucunya kalau ada yang ‘turun’ biasanya bawa mudharat di negara kita. Pelototi pelabuhan Merak. Jumlah kapal yang melayani arus muat barang dari pelabuhan Merak tiba-tiba turun. Sontak jumlah antrian ‘tiba-tiba naik’. Antrian truk sampai 15km! Efeknya lagi, karena pasokan barang ke Medan jadi ‘tiba-tiba turun’, tentu harga jadi ‘tiba-tiba naik’.

Sebagai rakyat, saya pusing. Kalau biasanya tujuh keliling, ini lebih parah, pusing tujuh panjang kali lebar kali tinggi. Ah, pokoknya pusiiiiiiiiiiing……..

Biar bisa turun gimana, ya?

Kita turunkan paksa saja……..! Ngawur, mana bisa harga dirunkan paksa? Ntar bisa dituduh memperkosa. Kan yang namanya paksa memaksa itu memperkosa. Tapi jangan salah, ada juga memperkosa tidak pakai pemaksaan, tapi pakai ‘kebijakan’.

Au ah, gelap!

Lantas, gimana?

Ya sudah, tidak usah makan, tidak usah minum. Kita puasa saja. Mestinya kalau puasa membuat permintaan sembako jadi turun. Kalau permintaan turun, berarti harga juga akan turun. Itu teorinya.

Lho, kok setiap masuk Ramadhan harga-harga malah melambung naik?

Kenapa ya?

Jawabannya gampang. Berarti banyak orang ‘tidak puasa’. Kalau harga sontak naik, banyak orang bukan sekedar ‘tidak puasa’, tapi malah menjadi ‘lebih rakus’.
Makanya, memasuki Ramadhan nanti Insya Allah, puasalah!

16 Agustus, 2007

Bagi Fikir


Ini kosa kata baru bagi saya. Sebelumnya saya tahu ada kosa kata ‘bertukar pikiran’, tapi begitu mendengar kosa kata ini, saya langsung suka.

Adalah Ustadz Misbah yang memperkenalkannya. Semalam saya baru kenal beliau. Kunjungannya tiba-tiba, diajak oleh anak menantu salah seorang jamaah. Alhamdulillah. Sejak mesjid kami berdiri, kami sering ketiban rezeki tiba-tiba dengan kedatangan ‘usatdz tak diundang’.

Ba’da Maghrib yang dipimpin oleh Ustadz Misbah, beliau meminta para jamaah tinggal sejenak mengisi majelis. Karena tiba-tiba, jumlah jamaah memang tidak sebanyak jamaah pengajian rutin Jumat malam.

Kemudian beliau mulai. Ustadz Misbah bilang, beliau tidak akan ceramah. Katanya, berdasarkan pengalaman, banyak jamaah yang sudah bosan dengar ceramah. Makanya beliau bilang, bagaimana kalau para jamaah ‘berbagi fikir’ saja?

Saya sudah tertarik mendengar mukaddimah beliau. Dan benar, beliau hanya beri sedikit pengantar, selanjutnya beliau minta jamaah untuk bicara memberi pertanyaan, atau komentar kalau ada.

Alhamdulillah majelis bagi fikir berlangsung hangat. Pertanyaan dari satu jamaah ditimpali komentar oleh jamaah lain. Ustadz Misbah hanya memberi referensi bila diperlukan. Mirip betul dengan forum diskusi di sekolah saya dulu.

‘Fikir yang dibagi-bagi’ isinya juga menarik. Tapi saya mau lebih fokus memberi catatan tentang kegiatan bagi fikir itu sendiri. Ada komentar menarik yang membekas keras dari Ustadz Misbah. Beliau bilang, fikir itu letak kemajuan manusia. Manusia bisa maju karena fikir. Ketika manusia berhenti mengeksplorasi fikir-nya, berhenti pula kemajuannya.

Saya setuju. Ini pemikiran jenius. Ini adalah pendidikan yang sesungguhnya. Ini dobrakan besar.

Memang bukan hal baru bahwa kita dicoba untuk disadarkan atau dicerahkan tentang betapa pentingnya pendidikan. Wong deso sekalipun sekarang ini lancar bicara tentang pentingnya pendidikan. Masalahnya, kita sudah terlalu jauh dibelokkan dari jalur yang benar. Bahwa pendidikan itu seharusnya berlangsung di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja untuk siapa saja, dan dalam bentuk apa saja. Pendidikan bukan cuman di sekolah.

Ustadz Misbah sudah membuktikan. Buktinya, dalam majelis bagi fikir semalam, kami belajar banyak. Yang hadir mulai dari Dg. Bella yang kalau duduk tasyahud sudah tidak bisa dan terpaksa duduk bersila, sampai dengan anak saya si Ai yang kerjanya cuman lari ke sana ke mari di sekitar mesjid untuk ngusir nyamuk.

Satu poin yang sangat signifikan dan relevan dari majelis bagi fikir dalam hubungannya dengan dunia sekarang yang sangat materialistis, bahwa ketika kita tidak punya sebentuk benda sekalipun untuk dibagi lagi dengan sesama, kita masih punya ‘fikir’ untuk kita bagi.

Betapa indahnya……….

11 Agustus, 2007

Bimbim si Bocah Petualang


Bimbim (nama saya samarkan), usia sekitar 10 tahun. Anak ini bikin hati saya…… bergetar haru sekaligus terinspirasi. Sudah beberapa lama saya amati. Anak ini rajin ke sekali ibadah.

Tidak mungkin dengan usia sekecil itu ia pamrih. Kepada siapa ia mau cari muka? Mau dibilang riya juga rasanya jauh. Wong yang tergolong anak-anak yang paling sering nongol ikut sujud berjamaah di mesjid ya cuman dia.

Waktu mesjid kami belum jadi, kami hanya bisa ngumpul ibadah jamaah di bulan Ramadhan di bawah kolong rumah yang disulap jadi mesjid (baca: Semoga bagus berkelanjutan). Itu terjadi selama 3 tahun. Di situ sosok Bimbim mulai menarik perhatian saya. Di antara barisan bocah, Bimbim selalu terdepan. Dia sudah terlihat menonjol. Selalu selepas ustadz selesai ceramah, Bimbim sudah siap dengan buku tugas dari sekolahnya untuk minta tanda tangan ustadz. Pernah saya lihat raut sedih sekali di wajah Bimbim, ketika dia tanya ke saya, “Om, tema ceramah pak ustadz tadi apa, om?”.
“Wah, om tidak ingat Bim.”
Jelas sekali raut kekecewaan di wajah polosnya yang bersih bersinar.

Sejak mesjid kami resmi terbuka, Bimbim lagi-lagi di barisan depan bocah yang bersuka ria. Kalau bocah lain senang, karena selain bisa ikutan shalat, yang lebih penting ada tempat berkumpul untuk bermain berjamaah pula. Bimbim sih sama. Tapi kentara bahwa Bimbim perhatian betul dengan kegiatan ibadah.

Kalau mau cari Bimbim cari di mesjid. Begitu kira-kira kondisi objektif Bimbim sekarang.

Shalat Magrib berjamaah malam petang ini Bimbim beraksi lagi. Saya tiba di mesjid ketika jemaah masih sepi. Kalau tidak salah baru 3 orang, terhitung Bimbim yang sedang wudhu.

Melihat waktu shalat sudah masuk, saya minta salah seorang jamaah dewasa untuk adzan. Bapak ini menolak sambil menunjuk ke arah Bimbim. Saya setuju. Saya kasih isyarat ke Bimbim untuk adzan. Dengan wajah riang, Bimbim mengepalkan tangan sambil berguman, “Yes!!”. Seakan-akan Bimbim baru menang lotere!

Saya senyum sembunyi-sembunyi melihat tingkah Bimbim. Rupanya sudah lama dia menanti-nanti kehormatan mendengungkan adzan. Untuk mengundang sesamanya bocah, mengundang om dan tante, untuk datang meraih kemenangan. Bersama Bimbim tentunya.

Lantunan adzannya jernih. Suaranya betul-betul bocah. Bocah yang memanggil-manggil. Halus. Santun. Murni. Subhanallah! Nyaris-nyaris airmata saya jatuh mendengar suara Bimbim. Tapi cepat saya sembunyikan. Malu sama jamaah lain. Dalam hati saya bertanya, akankah suara sandal kecil Bimbim terdengar di surga? Sebagaimana Bilal si tukang adzan Rasulullah SAW? Semoga. Amin ya rabbal alamiin.

*********

Pak Joko (nama saya samarkan) adalah tetangga saya. Sebenarnya masih tetangga jauh. Kami tinggal di jalan berbeda tapi masih satu kompleks. Dari rumah saya, saya bisa melihat jelas ke rumah Pak Joko, termasuk ketika dia dan beberapa orang tetangga samping rumahnya berkumpul di depan rumahnya hampir setiap malam.

Pak Joko dan tetangga sekitar rumahnya yang masih sejalan kelihatannya akrab sekali. Kegemaran mereka juga identik. Mereka suka ngumpul sambil minum-minum minuman beralkohol.

Saya tidak kenal betul Pak Joko. Tapi kebiasaan-kebiasaan Pak Joko and the gank saya tahu dari tetangga depan rumahnya juga, yang tidak masuk gank. Kelihatannya kebiasaan minum Pak Joko sudah parah. Pernah, kata tetangga depan rumahnya itu, Pak Joko pulang dari kantor tidak langsung pulang ke rumah. Ia singgah di sebuah warung kopi. Ngobrol ngalor ngidul dengan pengunjung lain yang kelihatannya juga gank-nya Pak Joko. Walaupun warung kopi, yang diminum bukan kopi, tapi bir. Bir diminum seperti air. Di-glek-glek-glek dan glek. Minum banyak! Sampai-sampai Pak Joko tumbang. Tidak bisa bangun lagi.

Orang warung menelepon adik Pak Joko untuk menjemputnya bawa pulang ke rumah. Begitu sampai di depan rumahnya, Pak Joko betul-betul linglung. Dia masih sempoyongan. Dia teriak-teriak, “Ini bukan rumahku! Masak rumahku begini?” Sampai-sampai malam itu Pak Joko dilarikan ke rumah sakit. Rupanya dia masih beruntung. Hasil pemeriksaan dokter tekanan darahnya sangat tinggi malam itu dan kalau tidak cepat dibawa ke rumah sakit, Pak Joko bisa pindah dunia.

Saya geleng-geleng kepala waktu dengar cerita lucu tentang Pak Joko. Katanya, kalau naik pesawat, Pak Joko bawa minuman jenis ‘brandy’ dimasukkan ke botol aqua kecil dan disimpan di tas yang dia bawa masuk ke cabin pesawat. Kalau pesawat bergoncang hebat, Pak Joko minum brandy-nya dulu baru baca-baca ‘doa’ minta selamat. Hahaha.

Itulah Pak Joko. Bahkan sampai saat ini kelihatannya masih begitu. Naga-naganya masih akan begitu. Kalau begitu terus, celaka betul Pak Joko itu. Kasihan.

*******

Kalau ingat-ingat fakta ini, saya jadi sedih. Tahukah anda, bahwa Pak Joko adalah bapaknya Bimbim?

Ini bukan cerita fiksi. Ini fakta. Kalau anda datang ke mesjid kompleks kami, saya bisa tunjukkan ke anda si Bimbim bocah ‘petualang akhirat’. Begitu juga Pak Joko ‘petualang alkohol’.

Sungguh, dua setting yang berbeda untuk dua pribadi yang berhubungan darah.

Entahlah. Ini semua misteri Allah. Bisa jadi Bimbim di saat dewasa berubah bejat. Aku berdoa kepada Allah agar senantiasa menumpahkan petunjuk kepada Bimbim agar tidak begitu. Agar Bimbim tetap Bimbim seperti sekarang. Bimbim yang sepak terjangnya mengundang air mata haru kebahagiaan.

Bisa jadi Pak Joko juga suatu saat bertobat. Semuanya bergantung kepada Allah. Barang siapa yang dibukakan hatinya dan diberi pentujuk ke jalan yang lurus, siapa pula yang dapat membelokkanya?

Alangkah indah bila suatu saat Pak Joko bertobat. Saya bermimpi, bahwa suatu saat tangan-tangan kokoh Pak Joko menggandeng tangan mulus mungil Bimbim, berdua bersarung berkopiah, beriringan menuju mesjid untuk berjamaah. Berdua menegakkan perintah Allah. Berdua menjadi kekuatan. Kekuatan yang justru dirindukan oleh bangsa kita sekarang.

Ya Allah. Aku berdoa ke hadiratmu. Bukakan pintu hati Pak Joko. Yang dagingnya besar tapi berhikmah kecil. Dan kuatkan hati Bimbim. Yang ukurannya masih kecil tapi berhikmah besar.

Ya Allah, jika ternyata banyak versi Joko dan Bimbim di negara ini, kabulkan pula doaku yang sama untuk mereka. Dan jadikanlah kami mengambil pelajaran terbaik dari kisah Joko dan Bimbim.

10 Agustus, 2007

Tempat Aman Berbuat Dosa


Di dunia ini, adakah tempat di mana kita bebas melakukan dosa?
Rasanya tidak tuh!

Ambil satu dosa, minum alkohol. Itu haram, makanya otomatis dosa. Di Negara-negara barat terutama, minum alkohol memang bebas. Tapi ketika orang barat datang ke negara-negara arab atau bahkan di Indonesia, tetap saja mereka tidak bebas minum alkohol kapanpun dan dimanapun.

Kita lihat dosa yang lain, berzinah. Ini kasusnya sama. Jangankan di negara-negara Islam, di Amerika, negara penganut kebebasan universal, berzinah tetap saja dianggap pelanggaran. Paling tidak bagi mereka yang menikah. Mana ada laki-laki pezinah terang-terangan mau mengaku ke istrinya bahwa ia pulang telat malam ini karena ‘mau berzinah’ dulu?

Korupsi juga dosa. Kalau yang ini, bukan cuman berhadapan dengan hukum Tuhan, hukum manusia pun keras terhadapnya. Di Cina, negara yang muncul belakangan sebagai kekuatan ekonomi dunia, korupsi jangan main-main. Nyawa taruhannya!

Tapi memang manusia suka berbuat dosa. Ini karena manusia dilengkapi dengan hawa nafsu. Anehnya karena semua perbuatan dosa itu menyenangkan. Wajar saja kalau manusia selalu mencari pembenaran agar bisa tetap menghibur diri.

Ambil contoh pornografi. Namanya paha mulus, dada montok, bibir sensual, dan berbagai item pengundang syahwat, dari dulu sih begitu-begitu saja. Kecuali kalau anda pengikut paham Evolusi Charles Darwin, berarti kalimat pembuka paragraf ini tidak berlaku. Tapi itu juga berarti anda mengakui bahwa nenek moyang anda adalah monyet. Lebih dari itu, bisa jadi nenek moyangnya nenek moyang anda adalah kucing, bahkan cecak. Masak sih?

Kalau memang dari dulu begitu-begitu, maka, kalau slogan SEKWILDA (seputar wilayah dada), dan BUPATI (buka paha tinggi-tinggi) mengundang syahwat anda, maka itu mengundang syahwat nenek moyang anda, termasuk nenek moyang saya. Kan nenek moyang kita sama, iya kan? Kalau dari dulu itu mengundang syahwat, saya tidak mengerti kalau sekarang itu tidak mengundang syahwat?

Makanya, kalau dari dulu pornografi adalah pornografi yang divonis haram oleh Allah dan Rasul-Nya, vonis itu masih berlaku, karena memang subjek dan objek vonis masih sama. Terus, kenapa sekarang pendirian kita bisa berubah bahwa SEKWILDA dan BUPATI bahkan diapresiasi karena itu bentuk dari profesionalisme dan pengejawantahan kebebasan universal?

Kalau kita berbeda pandangan dalam hal ini, sekarang terbukti, bahwa berbuat dosa yang berhubungan dengan pornografi tidak sepenuhnya bebas. Paling tidak kalau anda di dalam ‘wilayah saya’, saya tidak akan membiarkan anda mengusung ide kebebasan itu tanpa mendapat tantangan dari saya.

Kembali ke pertanyaan awal, kalau begitu, di manakah tempat kita bisa bebas melakukan dosa dan semua orang sepakat bahwa itu bisa dilakukan?

Kembali lagi, saya berani bilang, nggak ada tuh!

Tapi ada kabar bagus kalau anda penggemar berbuat dosa. Dari buku-buku agama (khususnya yang menyangkut halal haram) yang saya baca (salah satunya adalah tulisan Syeikh Yusuf Qardhawi), konon awalnya di dunia ini segala sesuatunya adalah HALAL!

Mau makan apa saja boleh. Mau tidur dengan siapa saja boleh. Bahkan incest (hubungan seksual dengan saudara) pun boleh. Kedengarannya asyik punya.

Nah, larangan makan makanan tertentu, minum minuman tertentu, tidur dengan orang tertentu, mengambil barang tertentu, dan berbagai varian perbuatan dosa tertentu, datang belakangan dan bertahap. Hikmahnya, kalau bukan hukuman, itu adalah cobaan (Semoga Allah mengampuni saya kalau salah dalam mengambil kesimpulan ini. Bagi anda yang lebih tahu kebenarannya, mohon koreksi).

Kok saya bilang kabar bagus? Iya, saya bilang bagus karena ternyata awalnya Allah membolehkan semua perbuatan dosa itu. Kalau begitu, mungkinkah suatu saat Allah akan membolehkannya kembali?

Aku berlindung kepada Allah dari niat-niat berbuat dosa.

Telaah saya melalui berbagai telaah para ulama yang telah melewati berbagai telaah para alim dan seterusnya, menyatakan bahwa tempat di mana kita bebas berbuat dosa itu ada. Yaitu di SURGA.

Mau makan apa saja, Insya Allah boleh. Mau tidur dengan siapa saja, Insya Allah boleh. Mau rumah besar yang pakai, jangankan kolam renang, tapi sungai air susu, ada! Pokoknya SURGA adalah tempat dipuaskannya berbagai hawa nafsu yang telah tertahan terkendali selama ‘puluhan atau ratusan tahun yang singkat’ selama hidup di dunia.

Masalahnya, ketika segala sesuatunya berlimpah, ketika segala sesuatunya menyenangkan, ketika segala sesuatunya abadi, ketika segala sesuatunya diridhai oleh Sang Pemberi, tanpa harus mengkhawatirkan masalah legalitas, dan itu hanya terjadi di SURGA, masihkan kita akan berpikir tentang berbuat dosa? Berbuat dosa di SURGA?

Rasanya tidak tuh! Karena di SURGA tidak ada dosa.

Jadi, kalau anda penggemar berbuat dosa, bias anda bersabar ‘sebentar saja’?

08 Agustus, 2007

Bilangan Kecil & Bilangan Besar


Bismillahirrahmaanirrahim.

Ilmu ini bukan dari saya. Ilmu ini ilmunya Allah. Ilmunya Allah tidak akan pernah habis-habis. Sebagaimana judul blog saya dan pengantarnya.
Ilmunya Allah banyak. Bilangannya besar. Semoga saya tidak salah, tetapi bilangan kecil tidak berlaku bagi Allah. Bilangan kecil hanya berlaku bagi manusia.

Makanya, jumlah orang menang selalu jauh lebih kecil daripada jumlah orang kalah. Jumlah orang yang menghadiri pengajian selalu lebih kecil daripada yang tidak. Jumlah orang kaya selalu lebih kecil daripada orang miskin, seperti pula ditegaskan oleh Hukum Pareto, bahwa 80% uang yang beredar dikuasai oleh 20% orang saja.

Sungguh Allah Maha Pengasih dan Pemurah. Ketika kita bicara tentang nikmat, yang berlakupun adalah bilangan besar. Nikmatnya Allah sungguh besar. Saking besarnya, tidak ada otak seencer apapun, tidak ada prosesor secepat apapun, yang mampu menghitungnya. Kalau tidak percaya, coba saja! Coba saja hitung, berapa liter beras yang sudah kita makan selama hidup kita? Berapa gallon air yang sudah kita minum? Berapa ekor ikan yang sudah kita santap? Berapa ini dan berapa itu?

Maka, apa pula yang bisa membuat kita kufur nikmat?

Terkadang kita tak sadar. Bahwa nikmat Allah ada di mana-mana. Tak seinci tanah di dunia di mana kita bisa mengingkari bahwa di situ tidak ada nikmat Allah. Makanya jangan pandang enteng. Jangan menyia-nyiakan apapun. Apalagi menganggap sesuatu tiada berguna.

Coba pikir. Di zaman Rasulullah SAW, manusia apa kenal ban mobil? Tapi Allah sudah menyediakan bahan bakunya berupa pohon karet.

Pikir lagi. Di zaman Rasulullah SAW, manusia apa kenal minyak tanah, bensin, gas, atau bahan bakar lainnya? Tapi Allah sudah menyediakan semuanya di perut bumi.

Masih, pikir lagi. Di zaman Rasulullah SAW, manusia apa kenal komputer? Tapi Allah sudah menyediakan bahan baku hardware dan brainware yang bisa membuat software.

Bukankah ini nikmat?

Sungguh, sejarah bisa berulang. Sesuatu yang saat ini kita pandang enteng, pandang sebelah mata, bisa jadi di generasi ke tujuh kita malah jadi bahan vital. Ketika Allah sudah menyediakan bahan bakunya, sungguh keterlaluan bila kita masih juga malas memikirkan bagaimana menggunakannya.

*******

Tulisan ini adalah ilham ba’da Isya. Distimulasi oleh ustadz Mansur Salim (Semoga Allah memberi berkah berlimpah ruah kepada beliau. Beliau sudah nyaris tidak melihat mata lahirnya. Tapi mata hatinya, Subhanallah! Tembus pandang atas berbagai hikmah kehidupan). Beliau tiba-tiba menelepon saya katanya mau berkunjung ke mesjid kompleks kami yang baru jadi dan mau kasih ceramah kalau ada yang mau dengar.

Begitulah kalau Allah yang punya ilmu, Allah memasukkan dalam hati seseorang, Allah menggerakkan bibir seseorang untuk mengajarkan ilmunya, maka terlalu banyak hikmah yang harus dipetik.

Tulisan ini rasanya terlalu ringkas untuk menulis semua hikmah yang terpetik. Tapi biarlah. Sesedikit apapun yang bisa saya rekam di sini, yang penting esensinya.

Paling tidak ada 2 esensi tersebut.

Satu. Bahwasanya Allah tidak menciptakan sesuatu sia-sia. Apapun ada tujuannya. Apapun ada gunanya. Kalau tidak ketahuan sekarang, mungkin nanti. Kalau bukan oleh kita, mungkin oleh anak cucu kita. Makanya kita jangan memandang enteng.

Dua. Bahwasanya sebagai muslim yang bersyukur, seharusnya kita hidup di bawah semangat ‘Para Penemu’ (the Inventors). Kita seharusnya menguasai penemuan-penemuan besar dalam bidang apapun dalam kehidupan ini. Rutinitas hidup kita harusnya adalah rutinitas ilmiah. Kalau salah dicatat sebagai kesalahan dan tidak diulang lagi. Langkah berikutnya adalah mencari jalan lain yang tidak salah. Jalan lain yang benar. Bukankah dengan cara ini kita akan bertemu dengan kebenaran pada akhirnya? Kebenaran yang tidak lain adalah penemuan? Bukankah ini yang disebut dengan metode ilmiah?

Dua ini terdengar sedikit atau kecil. Tapi bila kita amalkan, dahsyat! Besar!

Tunggu apa lagi?