18 Juli, 2007

Ayam sama Telur


Tulisan ini saya poting do GM2020 tanggal 31 Mei 2007. Selamat membaca.

********

Waktu masih kecil pertama kali dapat pertanyaan duluan mana ayam sama telur, gerombolan kami ribut. Yang yakin telur duluan, ngotot. Yang yakin ayam duluan, sama ngototnya. Ngotot ketemu ngotot, yah ribut.

Kejadian serupa pernah saya alami ketika sudah akil balik bin dewasa.

Waktu itu saya masih mengelola sekolah Bahasa Jepang. Suatu saat Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar mengundang asosiasi pengelola kursus untuk dialog. Isinya sudah bisa ditebak dari nama dinas yang mengundang. Apalagi kalau bukan rencana mereka untuk mengenakan pajak bagi lembaga-lembaga pendidikan. Padahal selama ini para pengelola lembaga pendidikan banyak dipuji karena mereka membantu pemerintah memajukan pendidikan, makanya tidak dikenakan pajak.

Seperti kejadian waktu saya masih kecil di atas, isi rapat melulu ribut. Protes sini, interupsi sana, marah kanan, umpatan kiri....pokoknya kacau.

Trus saya tanya orang dinas itu, emang kenapa kok tiba-tiba lembaga pendidikan akhirnya dimasukkan dalam target list untuk kena pajak?

Jawaban mereka kena........ maksud saya, kena....pa jawaban mereka bisa begitu? Katanya, untuk meningkatkan pendapatan daerah dan ujung-ujungnya bisa meningkatkan pelayanan publik dari pemerintah kota.

Hahaha...... logika mereka dalam memahami dilema ayam dan telur terlalu linear (meminjam istilah pak MY, thanx pak MY ini bukti keberhasilan pak MY memasyarakatkan bahasa fisika ke seluruh penjuru mata angin).

Trus saya tanya, "Kok sistematika berpikirnya tidak dibalik? Kenapa tidak kualitas layanan publik dinaikkan dulu, pendapatan daerah menurut insting saya akan ngekor naik juga...."

Insting saya ada dasarnya. Pernah seorang teman berkantong tebal mengundang saya makan malam. Kami ke restoran pakai mobil BMWnya edisi terbaru. Ketika sampai di restoran, mobilnya dapat tempat parkir khusus (walaupun di pinggir jalan juga). Kompensasinya buat si tukang parkir, kalau waktu itu mobil biasa parkirnya cuman Rp500, dia bayar Rp5000!

Saya tanya ke teman itu, apa kalau BMW parkirnya harus Rp5000? Dia bilang, sama saja dengan yang lain. Dia bayar Rp5000 karena kalau datang pasti dikasih tempat parkir spesial itu dan ada jaminan bahwa mobilnya tidak akan kena goresan orang iseng.

Ini mungkin bisa jadi masukan buat orang dinas pendapatan daerah di Gorontalo. Kalau mau PADnya naik, tingkatkan dulu pelayanan publiknya.

"Lha, kan untuk meningkatkan pelayanan publik butuh uang, mas?"

Siapa bilang? Tidak semuanya. Contoh, mempercepat urusan KTP, KK, atau dokumen-dokumen serupa lainnya. Siapa bilang untuk mempercepat urusan itu mesti butuh biaya?

Pernah saya dapat tugas dari organisasi mengurusi Exit Permit (izin keluar) di kantor imigrasi makassar bagi anak-anak bule yang ditempatkan di kota Makassar. Urusannya urgen karena kalau exit permitnya tidak segera keluar hari itu juga anak-anak itu tidak akan dapat tiket pulang lagi. Saya sebenarnya enggan karena sudah tahu bagaimana situsi di kantor imigrasi yang UUD (ujung-ujungnya duit).

Petugasnya pakai baju koko (kalo tidak salah itu hari jumat) kelihatannya sudah siap-siap untuk urusan akhirat shalat jumatan. Waktu saya menghadap, dia dengan tulus mengerutkan dahinya. Katanya, "wah mas, kalau urusan begini bisa 2 minggu".

Saya bilang, "Bapak tolonglah. Kami bukan organisasi profit dan anak-anak ini juga di Indonesia untuk pertukaran pelajar".

Dia kelihatan sangat bersimpati. "Begini aja mas. Bisa sih kalau mau hari ini, tapi........ .."

Anda pasti sudah tahu "tapinya" itu apa?

Setelah saya setuju menyanggupi "tapinya", ternyata yang katanya butuh 2 minggu, selesai dalam 2 jam!

Saya pikir banyak orang-orang di pelayanan publik terlalu berpikir "konstanta" (baca=jangka pendek) dan tidak "anomali" (baca=kreatif) ! (kalau 2 kata itu benar nggak saya cara pakainya pak MY?Kalau salah, sorry berarti level saya belum sampai ke situ fisikanya)

Mungkin mereka masih trauma atas jebakan pertanyaan duluan mana telur sama ayam. Makanya sampai duduk di tempat pelayanan publik pun sistematika berpikirnya masih kacau.....

Tidak ada komentar: