03 Agustus, 2007

Kok nggak kepikir, ya?


Baca kalimat judul, mungkin kita sudah bisa menebak, ini urusannya dengan kreatifitas. Betul. Bukan satu dua kali saya pernah ucapkan kalimat itu. Kok nggak kepikir ya?

Salah satunya sekitar 3 tahun lalu. Ceritanya bermula ketika saya akrab dengan yang mulia Konsul Jenderal Jepang di Makassar ketika itu, Bapak Motokatsu Watanabe (biasa saya sapa Watanabe-san).

Watanabe-san sangat berbeda dengan para pejabat Konjen yang pernah saya kenal di Makassar. Kelihatannya pejabat satu ini gila kerja dan penuh ide di kepalanya. Mungkin karena ini kami akrab. Saking akrabnya, orang jadi sering salah sangka, bahwa saya adalah staf penerjemah resmi Watanabe-san. Padahal saya diminta tolong beliau secara pribadi untuk menemani ke berbagai kegiatan (termasuk banyak kegiatan resmi sebenarnya), dan saya dengan senang hati menemani sekaligus menjadi penerjemahnya. 100% free of charge!

What’s in it for me? Untungnya buat saya?

Wow, saya jadi ketemu banyak orang yang mungkin kalau bukan jalan dengan Watanabe-san saya tidak bakal pernah punya kesempatan berkenalan. Ambil contoh, saya pernah menemani beliau sampai ke Gorontalo, bahkan bertindak sebagai penerjemah beliau dalam pertemuan-pertemuan resmi selama di Gorontalo. Termasuk ketika bertemu dengan Gubernur Fadel Muhammad.

Maaf, saya ngelantur kejauhan. Tulisan ini bukan tentang hubungan saya dengan Watanabe-san. Tulisan ini sesuai prolog, tentang kreatifitas.

Kembali ke Watanabe-san, suatu ketika beliau telepon saya. “Irwan-san, tolong datang ke kantor saya, saya perlu bicarakan sesuatu”. Sayapun datang.

Di mejanya, Watanabe-san punya satu set proposal dalam bahasa Jepang. Beliau mulai bicara ke saya, “Irwan-san, di Jepang ada organisasi pencinta sunset. Saya lihat Pantai Losari punya sunset indah sekali. Tapi kenapa di sini tidak ada organisasi itu?”

Hmm. Saya pikir, betul juga.

Akhirnya Watanabe-san lanjut to the point. “Irwan-san. Saya mau bikin program pertukaran foto sunset antara sunset Makassar dengan organisasi pencinta sunset di Jepang. Di Jepang organisasi ini serius sekali. Mereka rutin bikin pameran foto di masing-masing daerah di Jepang. Bagaimana kalau kita kontak mereka dan minta bikin di Makassar dan Makassar sebagai tuan rumah?”

Hmm. Kembali saya pikir, betul juga.

Setelah itu Watanabe-san bicara panjang lebar. Saya setuju membantu. Kami pun langsung action ketika beliau minta dipertemukan dengan beberapa orang dari instansi terkait.

Ada yang saya tidak mengerti dari Watanabe-san. Ketika bertemu dengan beberapa orang dan berbicara tentang ide sunset-nya, ia dengan berani bilang, “Sunset Pantai Losari indah sekali. Bahkan termasuk dalam satu di antara tiga sunset terindah di dunia.” Statement ini dibuatnya berulang-ulang.

Saya Tanya ke Watanabe-san, “Emang dari mana tahu kalau sunset losari satu di antara tiga terindah di dunia?” Jawabnya, “Yah, saya karang-karang saja. Emangnya ada yang mau cari tahu?”

Hmm. Kali ini pun saya berpikir lagi, betul juga.

Setelah itu masih ada beberapa kali saya berpikir. Kelihatannya Watanabe-san penuh dengan ide yang bikin saya selalu berpikir, betul juga yah?

********

Setidaknya dua hal yang tidak bisa saya lupa dari pengalaman dengan Watanabe-san. Satu, beliau beberapa kali bilang bahwa banyak sekali hal yang kita anggap sepele padahal sebenarnya bisa tidak sepele. Bahkan kalau kita pandai melihat peluang di belakangnya, hal-hal sepele itu bias berubah menjadi signifikan. Seperti kisah sunset di atas.

Dua, ternyata meskipun seorang diplomat yang tidak bisa bicara sembarangan, Watanabe-san berani bicara sembarangan. Tentu dengan perhitungan dan tidak membawa mudharat. Ini masalah strategi atau taktik.

Dua pelajaran berharga itu sampai sekarang selalu saya ingat. Faedahnya besar. Terutama kalau mau jadi kreatif. Dengan kata lain, untuk menjadi kreatif, banyak-banyaklah mencermati hal-hal yang dianggap sepele oleh orang banyak. Pacu diri anda untuk berpikir berbagai macam kemungkinan. Caranya? Tanyakan sebelum menyesal, “Kok nggak kepikir ya?”

Semoga Bagus Berkelanjutan


Assalaamu alaikum.

Hari ini adalah Jumat ke-3 sejak mesjid di kompleks saya Kompleks Taman Losari, difungsikan. Namanya Nurul Barakah. Belum diresmikan, tapi begitu kami sepakat menamakan mesjid ini.

Bicara Mesjid Nurul Barakah, banyak tetangga sejamaah sering berkaca-kaca matanya kalau kami berkumpul. Maklum, karena masih baru, para jamaah masih sentimentil kalau mengingat-ingat sejarah berdirinya mesjid ini.

Saya tinggal di kompleks sekarang sudah masuk tahun ke-5. Meski bukan penduduk sejak awal, sedikit banyak saya tahu sejarah berdirinya mesjid Nurul Barakah.

Sebelumnya, kalau ada waktu ke Makassar, coba anda kunjungi kompleks perumahan Tanjung Bunga. Kata orang, ini Lippo Karawaci-nya Makassar. Memang pengembangnya juga sama-sama Grup Lippo. Di wilayah perumahan Tanjung Bunga ada cukup banyak kompleks cluster. Di antaranya kompleks tempat saya tinggal. Selain itu ada mall, lokasi wisata pantai, sekolah bertaraf internasional, bahkan sementara dibangun lokasi wisata waterboom oleh kelompok bisnis besar nasional.

Namun ada yang aneh. Di kompleks ini sejak awal tidak ada sarana ibadah, termasuk mesjid. Makanya banyak yang mencibir, masak kompleks besar dan moderen begini tidak ada mesjidnya?

Begitulah awalnya, kalau kami bertetangga sesama muslim berkumpul, impian punya mesjid selalu jadi topik primer pembicaraan.

Saya sendiri dapat banyak pengalaman berharga. Ternyata orang bertetangga memang sangat majemuk. Dalam mewujudkan impian punya mesjid ini misalnya, ada tetangga yang bilang, “Kita langsung saja turunkan massa. Kita protes, masak kompleks perumahan bergengsi tidak ada mesjid? Apalagi jelas, ini ada perdanya!”

Tetangga lain lebih lunak. “Bagusnya jangan sampai rame-rame begitu, pak. Kita bicara baik-baiklah dengan pengelola. Mestinya mereka bisa mengerti. Apalagi perda juga mengatur begitu.”

Ada juga yang bahkan sudah berpikir untuk melibatkan pihak internasional. “Kalau perlu, libatkan pihak Arab Saudi”. Tetangga ini mengaku ia punya jaringannya.

Alhamdulillah, mungkin karena niatnya baik, Allah menunjukkan jalan yang baik.

Kami jemaah kompleks memutuskan untuk mulai saja dari hal kecil. Yang penting jamaah bisa ditegakkan.

Kebetulan di dalam kompleks ada satu rumah berbentuk panggung (rumah jadi yang biasa dipesan orang dari Manado). Di bawahnya ada kolong berlantai paving. Kami pikir, ini sangat ideal. Space yang tersedia untuk shalat cukup luas di kolong rumah. Sarana air bersih dan sumber listrik juga tersedia. Yang terpenting, pemilik rumah yang memang tidak pernah tinggal di rumah itu juga mengizinkan.

Action pertama diambil. Tempat ini kami sulap menjadi mushallah setiap Ramadhan. Tiga tahun lalu ketika kami memulai, semuanya sederhana sekali. Karpet digelar, sekeliling kolong rumah dididirikan kain penutup, pipa wudhu dipasang. Saya masih ingat, 3 tahun lalu listrik di Makassar masih sering byarpet, maka kami pasang genset untuk selalu siap-siap kalau pas lagi ibadah listrik mati.

Mungkin karena para inisiator adalah para amatiran dalam mengelola tempat ibadah, lucunya karena kami tidak terpikir serius untuk mengontak penceramah jauh sebelum Ramadhan tiba. Akibatnya, ceramah tarwih lebih banyak kosongnya. Di sini pula saya mulai karir sebagai ‘ustadz amatiran’. Maklum, ditodong isi ceramah, daripada kosong ya sudah, saya bicara macam-macam. Para tetangga juga daripada kosong pada manggut-manggut aja dengar ceramah saya. Nggak tau mereka ngerti atau tidak? Hehehe

Tahun berikutnya lebih bagus. Mushallah darurat bawah kolong kami terlihat lebih cantik. Jamaah pun lebih banyak, termasuk dari kompleks-kompleks lain, bahkan dari kampung terdekat juga datang ke mushallah kami. Kenyataannya, penceramah masih banyak yang kosong. Lagi-lagi, saya sering diminta ‘ceramah’. Bedanya, tahun ke-2 ‘pangkat’ saya dinaikkan sepihak oleh jamaah untuk sekaligus jadi imam kalau pak imam profesinal tidak datang.

Sejak itu saya selalu jadi was-was. Kalau begini bisa malu saya. Ntar kalau tiap hari imam, bacaan saya bias habis, berabe deh. Makanya ‘dengan terpaksa’ saya mulai belajar lagi dan menghapal surah-surah lebih panjang.

Di tahun ke-2 ini secara berjamaah kami ketiban untung. Alhamdulillah, seorang warga kompleks kami terpilih menjadi Wakil Walikota (Wawali). Di sini perjuangan mendirikan mesjid dimulai.

Masalah terbesar karena pengembang sudah menetapkan sebuah lokasi yang cukup jauh dari pemukiman tapi masih dalam wilayah mereka untuk membangun mesjid. Setelah melihat lokasi, kami semua berkesimpulan sama, siapa yang akan mengisi mesjid terutama untuk shalat 5 waktu di lokasi sejauh itu? Paling juga shalat Jumat dan hari raya.

Berbekal kekuatan baru dengan adannya Wawali sebagai warga, kami mencoba menekan pengembang. Apalagi Pemkot Makassar memang punya saham di perusahaan yang membawahi kompleks perumahan besar ini.

Walhasil pucuk dicinta ulam tiba. Wawali main tembak langsung. Direksi perusahaan melunak hatinya. Tepat di bulan Ramadhan, malam-malam setelah shalat tarwih, direksi, wawali, dan beberapa tokoh kompleks melakukan survey langsung ke lapangan. Akhirnya ditetapkan satu lokasi, jaraknya sekitar 100 meter dari pos satpam kompleks kami.

Para jamaah kompleks sangat bersemangat. Tapi gambar tak seindah warna aslinya. Janji tinggal janji. Realisasi tak kunjung datang. Sebulan menunggu tak ada aksi. Dua bulan menuggu masih sama. Tiga, empat, bahkan setahun mengunggu, masih tak ada realisasi. Akhirnya wakil jamaah turun gunung lagi. Wawali juga ikut mendesak.

Setelah setahun lebih, barulah pengembang bertindak nyata. Mesjid yang kami idam-idamkan pun berdiri. Walaupun jauh dari impian sebenarnya, paling tidak perjuangan kami tidak sia-sia.

Maaf, komentar banyak orang waktu pertama kali melihat mesjid ini, lebih mirip gereja daripada mesjid. Hahaha. Saya sendiri tersenyum kecut waktu lihat modelnya pertama kali. Tapi sudahlah. Allah yang punya kuasa, Allah pula yang memberi jalan. Yang terbaik tentu dari-Nya. Yang jelek-jelek pasti ulah manusia.

Sekarang mesjid Nurul Barakah sudah berdiri. Perubahan terbesar bagi jamaah kompleks, kalau dulu mereka sering kumpul sambil ngobrol sambil merokok sambil…..main domino! Sekarang berbeda! Ngumpulnya di mesjid. Sambil ngobrol pengembangan mesjid. Malah lebih jauh, mereka sekarang bikin yayasan. Programnya canggih-canggih. Mau bikin Baitul Mal. Santuni anak yatim. Pokoknya semua semangat!

Semoga Allah terus memberkahi kompleks kami. Saya yang sampai sekarang ngontrak rumah di sini, terus terang, susah untuk meninggalkan kompleks ini pindah ke kompleks lain. Semoga ini semua bagus. Semoga bagusnya berkelanjutan. Amin.


Foto diambil dari sini.

31 Juli, 2007

Ketika Allah Memurnikan


Ini kisah tentang keikhlasan. Keikhlasan bening yang dijaga kemurniannya oleh Sang Penuntut Keikhlasan.

Kisah ini nyata. Saya dengar sendiri dari adik ipar saya yang berkata bahwa ia mendengar dari ipar kemenakan kami. Ipar kemenakan kami berkata:

Istrinya ustadz Yus (untuk alasan menghormati dan memelihara keikhlasan beliau, nama saya samarkan) baru-baru bercerita tentang pengalaman luar biasa dari ustadz Yus yang diceritakan kepada istrinya dan beberapa jemaah beliau.

Istri ustadz Yus suatu saat berkeluh kesah. Duit nyaris habis sementara dapur harus terus berasap. Makanya istri ustadz Yus mengeluh kepada sang ustadz. "Ustadz, uang sudah tipis. Lain kali kalau ceramah, dan jemaah kasih amplop, diambil saja ustadz, untuk bekal hidup." Begitu pinta sang istri.

********

Ulasan saya tentang seorang ustadz Yus adalah sebagai berikut. Beliau masih muda. Usianya 2 tahun lebih tua dari saya. Beliau 37 tahun. Tapi dari segi keilmuan, beliau terbilang sangat senior. Belakangan saya tahu dari jaringan para pendakwah, ustadz Yus yang sangat sederhana itu bukan sekedar terkenal sebagai ahli hadits di Indonesia saja, tapi beliau juga terkenal di negara-negara Arab. Sebagai seorang pengkaji hadits yang diperhitungkan, dakwah beliau lintas negara. Meskipun beliau tidak ke mana-mana. Ketika diam bukan berarti beliau tidak berkata-kata. Ketika tidur bukan berarti beliau tak terjaga. Ketika susah bukan serta merta beliau melarat.

Ustadz Yus banyak menulis buku. Terutama tentang kajian hadits. Beliau gaptek. Tapi beliau bukan tipe yang mudah putus asa. Bukunya beliau diktekan kepada seorang juru ketik. Selanjutnya juru ketik yang melakukan kegiatan menulis yang sesungguhnya. Tapi toh buku-buku beliau terbit juga.

Saya lupa tepatnya. Tapi dalam ingatan saya belum lebih dari setengah tahun lalu. Beliau diberi ujian berat oleh Sang Khalik. Ketika beliau sedang mengantar istri dan satu di antara 2 anak kembar laki-laki beliau untuk membeli terang bulan di pinggir jalan. Setahu saya beliau tipe pengendara yang berhati-hati. Katanya sesampai di gerobag terang bulan di pinggir sebuah jalan raya, beliau memarkirkan motor di antara banyak motor lain yang diparkir berjejeran. Istri beliau yang lagi hamil turun untuk membeli terang bulan. Sementara ustadz Yus sendiri dan anak laki-lakinya menunggu di motor.

Tiba-tiba sebuah mobil berkecepatan tinggi menghantam beliau dan anak sekonyong-konyong! Katanya beliau terseret cukup jauh. Innalillaahi wa inna ilaihi rajiuun. Anak laki-laki beliau tewas di tempat. Sementara ustadz Yus tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Saya sempat melayat ke rumah duka. Ketika saya tanya anggota keluarga beliau, katanya ustadz Yus belum diberitahu tentang kepergian anaknya sebab beliau sendiri masih sering tidak sadarkan diri.

Sekitar seminggu setelah itu saya menjenguk ustadz Yus yang memang sudah bisa dijenguk. Ternyata rahang mulut beliau retak dan harus dioperasi. Ketika saya jenguk, beliau masih dilarang dokter untuk bicara. Makanya beliau dilengkapi dengan whiteboard kecil sebagai media komunikasi.

Sungguh, tidak tampak wajah sedih yang berlebih-lebihan di wajah ustadz Yus. Saya tahu mestinya dalam kondisi seperti itu orang-orang biasa akan terus memperbincangkan musibah sebagai tanda berduka. Tapi beliau tetap bersahaja seperti biasa. Ketika saya tanya apa rencana beliau berikutnya, kata beliau, beliau akan ke Sudan untuk melanjutkan studi ilmu haditsnya.

Satu karakteristik ustadz Yus. Beliau tidak pernah mau berjanji. Kata Insya Allah pun tidak sembarang beliau gunakan. Ketika diundang menghadiri suatu acara, atau diminta ceramah, beliau biasanya hanya mengangguk tanda telah mengerti jadual yang diberitahukan. Seakan beliau sangat takut mendahului kehendak yang Maha Mengatur.

Ada lagi karakteristik lainnya. Ustadz Yus tidak pernah mau menerima amplop sehabis ceramah. Seakan beliau ingin menegaskan bahwa berdakwah bagi diri beliau bukan untuk cari uang. Beliau senantiasa meluruskan dan memurnikan niat di balik niatnya yang menurut saya sudah sangat lurus dan murni.

***********

Malam itu ustadz Yus akan keluar ceramah. Undangan ceramah ini dari sebuah mesjid yang sudah rutin beliau datangi. Ada keprihatinan dalam hati beliau. Beliau prihatin atas permintaan istrinya untuk menerima amplop. Makanya ketika didesak oleh sang istri, beliau akhirnya melanggar kebiasaan selama ini. Ustadz Yus mengiyakan permintaan istrinya.

Seperti biasa ustadz Yus keluar mengendarai motor bebek yang setia menemani misi dakwah beliau. Motor dipacu menuju mesjid yang dituju.

Aneh.

Ustadz Yus tidak mendapati mesjid yang dituju. Beliau berputar-putar dan terus mencari. Tapi tetap saja, mesjid yang sudah rutin didatanginya tidak didapatinya. Padahal jemaah sudah menunggu. Bukan kebiasaan ustadz Yus datang terlambat.

Aneh.

Ustadz Yus bahkan tersesat.

Akhirnya beliau menyerah. Ustadz Yus memutuskan pulang ke rumah. Dengan perasaan gundah gulana. Sesampainya di rumah, ustadz bersahaja ini menceritakan pengalamannya kepada sang istri.

Aneh.

Keesokan harinya, ustadz Yus mengecek mesjid yang beliau cari. Dengan mudah beliau menemukannya. Sebab mesjid tersebut memang rutin didatanginya.

************

"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya"

Quran surah Az Zumar (2).

Kisah ustaz Yus adalah otentik. Merinding bulu kuduk saya ketika mendengar kisah ini. Bahwa orang-orang yang senantiasa ikhlas akan dijaga keikhlasannya. Dan kalau yang menjaga dan memurnikan itu adalah Allah SWT, siapakah yang bisa merusaknya?

PILKADA Idol


Seandainya pemilihan kepala daerah seperti pemilihan Indonesian Idol di RCTI, urusannya akan sederhana.

Minggu lalu saya dan istri menunggui acara Grand Final Indonesian Idol sampai selesai. Sebenarnya saya bukan penggemar berat acara ini. Tapi istri saya setiap minggu tidak pernah ketinggalan. Akibatnya saya terbawa juga. Saya jadi ikut-ikutan menjagokan Rini yang selain cantik, teknik menyanyinya juga yahud.

Sebelum pengumuman di acara terakhir Result & Reunion, saya dan istri beberapa kali adu predikisi. Istri saya bilang, Wilson dari Ambon bisa saja unggul, sebab berdasarkan pengalaman, peserta dari kota-kota yang relatif lebih kecil justru lebih kompak pendukungnya mengirim SMS. Bahkan Walikota atau Gubernur asal kontestan bisa turun tangan menyediakan voucher untuk mengirim SMS dengan harapan kalau kontestan dukungannya menang, nama daerahnya juga akan terangkat.

Untuk argumen ini saya setuju dengan istri saya. Dulu waktu Indosiar masih getol-getolnya mengandalkan AFI, polanya memang serupa. Kebetulan pernah seorang kontestan dari Makassar ikut serta hingga ke Grand Final. Di Makassar ramai diadakan acara nonton bareng. Tidak kurang Walikota dan Gubernur hadir di nonton bareng itu. Bahkan mertua saya yang beberapa kalai menginap di rumah dan menonton acara itu tidak ketinggalan mengirim SMS agar wakil Makassar bisa menang.

Tapi saya dan istri saya beda pendapat untuk satu hal. Di Indonesian Idol terakhir, kelihatan sekali bahwa teknik menyanyi Rini jauh di atas Wilson. Istri saya bilang, pihak penyelenggara pasti akan campur tangan memenangkan Rini bagaimanapun hasil SMS yang masuk. Penyelenggara pasti tidak mau mengambil resiko bahwa kontestan yang kemampuannya lebih di bawah akan menang. Masih kata istri saya, ini juga masalah bisnis. Soalnya kalau peserta yang kurang baik yang menang, sementara penyelenggara menjanjikan kontrak rekaman, takut nanti albumnya kurang laris.

Pikiran istri saya terus saya bantah. Kata saya, masak sih RCTI berani membohongi publik? Ini kan kontes adu populer yang ditentukan oleh SMS. Kalau penyelenggara tidak konsisten dengan itu, mereka bisa kena tuntut karena membohongi publik.

Apapun adu argumennya, belakangan Rini keluar sebagai the next Indonesian Idol. Wilson, meskipun kalah, bukan berarti hidupnya tidak berubah. Paling tidak, baik Rini dan Wilson, keduanya akan berubah hidupnya, begitu senantiasa janji pembawa acara Ata dan Daniel.

Itulah kontes idol. Kontes ini setau saya memakan waktu sekitar 6 bulan dan melibatkan biaya tidak sedikit. Kontestan yang mendaftar pun banyak. Bahkan dalam Indonesian Idol yang menghasilkan Rini sebagai the next Indonesian Idol, penyelenggara mengklaim peserta yang ikut audisi sebanyak 90.000 kontestan! Luar biasa!

Tapi ternyata penentuan pemenang, bagaimanapun menegangkannya, sungguh sangat sederhana. Berdasarkan SMS yang masuk. Ini oleh penyelenggara diklaim sebagai representasi kopopuleran sang idol.

*******

Coba amati pemilihan kepala daerah (pilkada) di Negara kita. Saya perhatikan, modelnya kok jadi lebih mirip kontes idol ketimbang pemilihan pemimpin.

Bakal calonnya semua senada. Dalam materi kampanye pasti memuat unsur kesukuan. Kalau mau contoh gampang, simak iklan balon gubernur Jakarta, Fauzi Bowo. Jelas-jelas iklannya menyebutkan, ‘orang Betawi asli!’.

Metode kampanye juga tidak beda dari kontes idol. Ke mana-mana pakai konser nyanyi. Iklannya juga pakai artis-artis beken. Konvoi tidak habis-habis.

Nyata sekali kalau semuanya menyangkut popularitas. Sesuatu yang bisa didongkrak secara instan. Ujung-ujungnya tidak jauh-jauh dari duit. Siapa berduit lebih tebal, bisa mendongkrak popularitas lebih tinggi dengan berbagai cara instant.

*******

Masalahnya kontes idol bukan menyangkut hidup banyak orang. Semata-mata menyangkut 2 orang grand finalist. Bahwa setelah acara grand final, hidup kedua grand finalist secara material akan berubah signifikan.

Tapi pilkada adalah masalah rakyat banyak. Bukan sekedar adu popularitas yang akan merubah hidup 2 balon. Ini masalah berjamaah. Ini masalah perut kosong, kepala kosong, dan banyak kekosongan lain.

Kalaupun ada dari Indonesian Idol yang perlu kita tiru dan adaptasi dalam pilkada, adalah penekanan dari para pembawa acara hampir di setiap saat ditayangkannya kontes ini. Yaitu bahwa siapapun yang akan terpilih sebagai idol, keputusan ada di tangan anda. Keputusan ada di tangan Indonesia.

Perintah ini layak kita taati. Bahwa dalam pilkada, keputusan memang ada di tangan anda. Jadi, putuskanlah! Tapi tolong, putuskan dengan bijak. Berlandaskan analisis akurat. Bahwa balon yang anda tusuk bukan bermental idol yang hanya ingin mengubah nasib sendiri. Tapi bermental imam shalat yang ingin memimpin jamaah secara bersama-sama mencapai selamat.

Kalau ini yang terjadi, barulah layak di akhir kontes kita umumkan, bahwa Indonesia, atau rakyat, telah memilih……..

Wassalam.

Kejutan di Hari Jadiku


Alhamdulillah.

Hari ini hari jadi saya. 35 tahun lalu saya terlahir ke dunia.

Kejutan terbesar di hari istimewa ini adalah dari anakku, Muhammad Ainurridha Uno, 3 tahun. Yang ia berikan tepat ketika saya bangun sekitar pukul 4.40 WITA untuk melaksanakan shalat subuh.

Kebetulan mesjid kompleks kami telah seminggu ini rampung dan mulai difungsikan oleh warga. Sejak itu saya berusaha melaksanakan sebanyak mungkin shalat berjamaah di mesjid. Termasuk shalat subuh.

Subuh ini saya terbangun seperti biasa oleh suara weker yang saya pasang. Biasanya saat saya bangun, hal pertama yang saya lakukan adalah membuatkan susu botol untuk si Ai (nama panggilan anakku). Sudah jadi kebiasaan bahwa pada jam-jam shalat subuh Ai suka minta dibikinkan susu. Kadang setelah minum susu, bertepatan dengan saya selesai shalat subuh, Ai langsung bangun nonton TV sambil saya temani baca quran.

Tapi subuh ini lain. Sewaktu berwudhu, saya dengar pintu kamar dibuka. Dalam hati saya pikir, tumben istri saya bangun cepat padahal dia sedang tidak shalat? Biasanya kalau sedang tidak shalat, istri saya bangun telat. Ternyata begitu keluar dari kamar mandi, si Ai sudah di depan TV.

Sebab shalat subuh tinggal sebentar lagi, saya bergegas berganti pakaian. "Ai, bobok lagi nak ya. Papa mau sholat ke mesjid." Saya berusaha membujuk Ai untuk masuk ke kamar lagi. Ternyata begitu lihat saya berganti pakaian lengkap dengan songkok, Ai tahu kalau saya mau ke mesjid. Ia bilang, “Ai icut papa”. Wah, ini bisa repot, pikir saya. Padahal azan tinggal sebentar lagi.

Akhirnya saya masuk ke kamar. Saya bangunkan istri. Saya bilang kalau Ai mau ikut saya ke mesjid di gelap subuh. Istri saya masih mengantuk bilang, “Bawa saja, tapi naik mobil”. Kesimpulannya, saya bawa Ai ke mesjid. Buru-buru saya pakaikan jaket dan mengalungkan sajadah mungilnya yang sering ia bawa ke mesjid juga kalau maghrib.

Alhamdulillah. Ini pengalaman pertama Ai shalat subuh di mesjid. Sekaligus juga pertama bagi saya membawanya shalat subuh di mesjid. Ketika kembali ke rumah, perasaan saya bahagia. Ternyata kebiasaan yang selama ini saya contohkan sudah mulai membekas di hatinya. Semoga Allah terus memberi petunjuk kepada anakku agar selamat di dunia dan akhirat. Dan semoga pula ia terus memberiku kejutan-kejutan spiritual di hari jadiku.

Doaku menyertaimu anakku. Tidak berlebihan harapanku kepadamu. Kecuali bahwa suatu saat, kita berganti posisi, bahwa kau anakku, senantiasa mendoakanku, agar selamat di dunia dan akhirat. Agar kita semua selamat.

Amin