01 Oktober, 2007

Manusia Kapal Selam (Terinspirasi oleh Ustadz Irwan Fitri, LC)


Kapal selam dalam kondisi perang jarang sekali nongol ke permukaan. Paling nongol kalau perlu. Selebihnya tidak terlihat di permukaan. Tidak nongol.

Ustadz Irwan Fitri, LC ternyata mencermati kapal selam. Kata beliau, dalam bulan Ramadhan ini, ada, atau tepatnya, banyak, manusia seperti kapal selam. Bagaimana bisa?

Lihat saja mesjid-mesjid. Coba perhatikan dari sabang sampai merauke. Kalau 1 Ramadhan, mesjid pada penuh sesak. Pengurus sampai kewalahan mengatur jemaah. Seperti di mesjid kami. Kami bahkan menambah 5 petak tenda di sekeliling mesjid untuk mengantisipasi ini.

Ketika awal Ramadhan itu, banyak muka-muka baru yang saya sendiri baru lihat. Di situ saya tahu bahwa si anu dan si anu ternyata adalah tetangga sebelah kompleks. Bukan cuman jamaah berusia senior yang nongol, para pemuda dan pemudi juga pada keluar sarang. Pokoknya semua orang berlomba-lomba masuk mesjid. Semua orang pada nongol ke permukaan. Persis seperti kapal selam yang lagi nongol ke permukaan.

Sekarang sudah setengah Ramadhan terlewati. Sekarang kapal selam lagi menyelam. Seperti orang-orang yang tadinya nongol tapi sudah tenggelam. Mesjid-mesjid jadi banyak kemajuan. Kemajuan shaf. Tadinya shafnya penuh ke belakang, sekarang jadi maju ke depan. Ini namanya apa lagi kalau bukan kemajuan?

Inilah yang disindir oleh ustadz Irwan Fitri, LC sebagai manusia kapal selam. Awalnya nongol, sekarang sudah tenggelam. Tapi tunggu saja, ntar nongol lagi kok, sindir sang ustadz. Tunggu saja 1 Syawal, Hari Raya Idul Fitri. Orang-orang yang sudah pada tenggelam itu malah biasanya nomor satu muncul di lokasi shalat Ied. Baju yang dipakai mereka juga paling baru. Kopiahnya juga paling baru. Apalagi sarung dan sajadah. Pokoknya, mereka terlihat paling bahagia di antara orang-orang bahagia lainnya.

Apa setelah nongol di hari raya Ied mereka akan nongol terus?

Namanya juga manusia kapal selam. Paling juga bertahan sehari dua hari. Setelah itu menyelam lagi. Nggak nongol-nongol.

Takutnya satu hal. Saking asiknya menyelam, alias nggak nongol-nongol, ajal datang menjemput. Wah, ini celaka. Ini namanya tenggelam di dunia tenggelam di akhirat. Namanya orang celaka, sekali celaka akan terus celaka. Dan kalau di hari kemudian kita celaka, waduh, celakanya berkelanjutan alias abadi.

Jangan jadi ‘Manusia Kapal Selam’ deh….!


Catatan: Gambar diambil dari sini

Rejeki Besar


Hampir saja saya kehilangan rejeki besar. Tadi siang, sebelum shalat dhuhur, baru teringat kalau saya belum mengonfirmasi ustadz untuk ceramah teraweh malam ini. Sekitar seminggu lalu pernah begitu. Saya lupa menelepon mengingatkan ustadz yang sudah dijadualkan. Ujung-ujungnya, beliau tidak datang dan seperti biasa, saya harus mempertanggungjawabkan kelalaian. Saya harus bertindak jadi ustadz pengganti.

Telepon pertama ustadz Irwan Fitri, LC nadanya sibuk. Saya telepon lagi, masih senada seirama, tut tut tut tut….artinya sibuk. Saya genapkan telepon ketiga kalinya, rasanya bunyi itu baru saja terdengar….tut tut tut….

Capek deh. Begitu dalam hati saya. Kalau saya telepon lagi, jangan-jangan bunyinya “maaf, anda belum beruntung”….Ya sudah, kalau pak ustadz ini tidak datang biar saya ceramah lagilah….begitu tekad dalam dada. Tapi Tuhan masih menggerakkan saya untuk mencoba opsi terakhir, mengirim pesan SMS.

“Ass. U mengingatkn jadual cermh trwh mlm ini di mesjd Nurul Barakah Tanjung Bunga. Shalt Isya pk 7.45. Wass”. Begitu isi SMS yang saya kirim.

Setelah itu saya kembali larut pada kegiatan lain.

Tak disangka, menjelang waktu buka masuk sms. “Ana kurang jelas alamtnya. Bisa jempt ana di depan kantr camat? Sykrn”.

Berhubung nomor ustadz Irwan Fitri tidak saya simpan di memori HP, sempat kening berkerut. Siapa pula yang ngirim SMS pakai allughatul ‘arabiyah segala? Untung saya cepat ingat. Saat itu pula saya menelepon sang ustadz untuk menjelaskan rute menuju mesjid kami.

----------

Ustadz Irwan Fitri, LC ternyata bawa rejeki besar. Malam itu ceramah beliau memukau jemaah. Awalnya saya pikir gayanya akan sama dengan banyak penceramah sebelumnya yang kalem-kalem aja. Akibatnya, banyak jamaah jadi mengantuk. Termasuk saya yang beberapa malam ini mata rasanya berat sekali ketika mendengar ceramah. Padahal sudah saya akali dengan minum kopi pekat sebelum ke mesjid.

Kenapa ustadz Irwan Fitri, LC membawa rejeki besar?

Pertama, karena nama depan ustadz ini sama dengan nama saya. Kami sama-sama Irwan. Hehehe. Biasanya kalau orang nama Irwan pintar bercerita (kata orang Makassar, 'Pacarita'). Nggak percaya? Percayalah……Kalau saya salah, mengertilah…….

Kedua, karena ustadz ini ternyata pintar melucu. Obat paling mujarab melawan ngantuk. Wajar kalau sepanjang ceramah jemaah pada melek semua. Bahkan waktu pak ustadz tanya ke saya kalau ia boleh ceramah sekitar 20 menit, dengan semangat saya bilang, “tafaddal, ustadz”.

Ketiga, karena ustadz ini selain pintar melucu, isi ceramahnya juga bermutu. Anda tau tidak? Kalau anda dantang ke sebuah mejelis yang menawarkan ceramah agama, dan anda menyimaknya dengan khusyuk, apalagi mengambil pelajaran dari ceramah itu, maka itu rejeki nomplok. Sudah dinilai ibadah, dapat pahala berlipat ganda, dapat ilmu pula. Dengan begitu kelas anda naik setingkat, sebagaimana kita pahami bahwa orang yang beriman dan berilmu diangkat derajadnya satu tingkat oleh Allah. Bukankan itu rejeki besar?

----------

Makanya pulang-pulang ke rumah dari mesjid, saya putuskan menulis tentang ustadz Irwan Fitri, LC. Saya lagi senang nih, abis dapat rejeki. Moga-moga tulisan ini bernilai sedekah dari rejeki yang baru saya dapatkan. Sebab kalau anda mendapat sebuah hikmah dari balik tulisan ini, dan anda bersyukur karenanya, Insya Allah saya dapat rejeki lagi. Trus kalau anda memutuskan menceritakan hikmah itu kepada orang lain dan orang lain juga bersyukur karenanya, maka anda juga dapat rejeki lagi dan saya tentu dapat rejeki pula. Begitu seterusnya. Bagaimana rejeki kita tidak besar kalau begitu?

Keindahan Kelas Berat


Bismillahirrahmaanirrahiim,

Pembaca setia blog ini.

Allah SWT menjanjikan. Orang-orang yang tulus berpuasa akan mengalami 2 jenis kebahagiaan. Pertama saat berbuka, kedua saat bertemu dengan Tuhannya.

-----------

Hari Rabu (26/9) lalu saya berangkat ke Gorontalo untuk sebuah kerjaan. Ketika memesan tiket pesawat, saya tidak terlalu memperhatikan jadual keberangkatan, berhubung saya sudah sering menggunakan perusahaan penerbangan yang sama dan biasanya jadual terbangnya sering molor sampai pukul 8 malam.

Saya baru sadar bahwa jadual terbang kali ini sangat dekat dengan jadual buka puasa untuk wilayah Makassar, yaitu pukul 18.10. Itu saya sadari ketika saya menelepon Sandi, adik sepupu saya untuk mengabari bahwa saya akan ke Gorontalo. Sandi juga ternyata akan berangkat di hari yang sama, tapi dia memilih penerbangan yang lebih lambat. Kata dia, “Wah, kalau pakai pesawat itu repot kak. Baru buka puasa, makanan belum juga turun ke lambung sudah harus naik pesawat.”

Betul juga pikir saya. Tapi sudahlah. Tiket sudah di tangan dan takdir Allah memang begitu.

Berhubung saya berangkat bersama Bapak serta Om dan Tante saya, saya setuju saja mengikuti saran mereka untuk berangkat ke bandara pukul 15. Dalam hati saya membatin, cepat amat. Ngapain nunggu lama-lama di bandara? Tapi berhubung mereka adalah orang-orang yang sudah berumur, saya tidak mau ambil resiko terlambat atau terburu-buru karena gerak lambat mereka.

Eh, ternyata permintaan para orang tua saya ini membawa hikmah. Jalan macet menuju bandara luar biasa. Perjalanan kami lamban benar. Saat-saat seperti itu, saya bersyukur sekali. Betul kata-kata bijak, dengar nasehat orang tua.

Sesampai di bandara, urusan barang-barang saja sudah makan waktu lagi. Saya mesti tau diri sebagai anak. Sebagai ‘yang paling muda’, apa boleh buat, urusan barang saya monopoli. Barang yang ringan-ringan saja saya izinkan orang tua untuk menenteng. Selebihnya, ‘ana jadi superman’. Hehehe.

-----------

Tidak terasa waktu berlalu, sebentar lagi azan magrib pertanda buka. Rupanya urusan angkat mengangkat barang bikin saya sibuk tidak merasa waktu berlalu cepat. Mata saya, dan banyak pasang mata lain di ruang tunggu bandara kelihatannya berperilaku sama ketika itu, semua menatap layar ke arah yang sama, layar TV yang tersedia. Semua kelihatan khusyu’. Sesekali saya lirik jam handphone untuk memastikan waktunya tepat.

Tiba-tiba terdengar suara petugas informasi melalui pengeras suara yang biasa dipakai mengumumkan serba serbi keberangkatan dan kedatangan pesawat.
“Para pengguna bandara yang kami hormati. Dengan ini kami sampaikan bahwa waktu berbuka puasa bagai kaum muslimin dan muslimat telah tiba. Kami ucapkan selamat berbuka puasa.”

Alhamdulillah. Suara itu terdengar indah. Suara itu menjadi pertanda bahwa kerongkongan kering yang tadinya haram untuk dibasahi, akhirnya menjadi halal. Perut lapar yang tadinya haram diberi makan, akhirnya menjadi halal….

Memang, berbuka puasa di bandara terasa lain dari biasa. Namun tetap terasa indah. Keindahan itu terasa mencapai puncak, ketika secara serentak, orang-orang yang menunggu keberangkatan mengeluarkan bekal makan dan minum mereka dan di mata saya terlihat serentak pula mereka membatalkan puasa.

Air mata kebahagiaan saya nyaris meleleh, ketika di depan saya, seorang calon penumpang lelaki setengah baya, menawarkan bekal buka puasanya yang saya tau tidak banyak (kelihatannya orang ini hanya punya 2 potong roti yang mungkin ia kalkulasi dengan dua potong itu cukup membuatnya tahan menempuh perjalanan) kepada seorang lelaki muda lain di sampingnya. Subhanallah, sungguh adegan yang lebih bermutu dari adegan film peraih Oscar….

Di sudut yang lain, sempat pula saya saksikan seorang Bapak yang sadar bahwa di sampingnya duduk seorang remaja muslim yang tidak membawa bekal apa-apa. Ditawarinya air putih botol satu-satunya yang dimilikinya dan telah diminum sekitar sepertiganya. Si remaja terlihat sangat bersyukur. Kelihatannya ia bingung mau berbuka apa, sebab ia tidak punya bekal apa-apa. Kelihatannya ia seorang mahasiswa yang mau mudik dan duitnya pas-pasan sehingga tidak menyiapkan bekal berbuka (wallahu a’lam). Dengan antusias diterimanya botol air itu dan diminumnya pula sepertiganya. Subhanallah, ini adegan nyata terindah yang pernah saya lihat…….

-----------

Rasa-rasanya saya semakin khawatir. Ketika menulis ini sudah masuk malam 19 Ramadhan. Saya jadi bertanya-tanya, masih akankan saya menemui keindahan-keindahan kelas berat seperti di atas dalam hidup ini? Masih akankah saya jumpai aktor-aktor kawakan yang akan memerankan peran indah nan menyentuh hati?

Mumpung Ramadhan masih berlangsung, pencarianku akan terus berlangsung. Sebab aku suka keindahan. Aku terangsang oleh yang indah-indah. Tapi bukan oleh keindahan murahan bikinan setan. Tapi oleh keindahan hakiki yang membawa extacy abadi. Yang membawa kebahagiaan ketika bertemu Tuhan.