23 Mei, 2007

Sense of Urgency


Seorang khalifah jauh setelah masa Rasul SAW terkenal hidup sederhana.

Suatu hari ia dapati anaknya pulang dari mengaji sambil menangis. Khalifah bertanya kepada anaknya, "Mengapa kamu menangis hai anakku?"

Si anak sambil terisak menjawab, "Aku malu ayah. Aku diejek teman-teman di sekolah mengaji. Katanya, kasihan bajunya pakai tambalan?"

Khalifah bilang, "Memangnya teman-temanmu tidak tahu kalau kamu anak khalifah?!"

"Justru itu ayah. Mereka bilang anak khalifah kok bajunya ditambal? Memangnya tidak punya uang beli baju?" Khalifah tersinggung. Ia kirim berita ke bendahara kerajaan. Ia minta bendahara mengecek apakah ia bisa mengambil gajinya di depan meskipun belum waktunya (kebetulan saat itu tinggal 7 hari lagi waktunya khalifah terima gaji).

Bendahara dengan patuh menjawab, "Ya Khalifah. Jangankan gaji bulan depan, gaji untuk setahun ke depan, bahkan dua tahun ke depan pun kalau Khalifah mau akan hamba berikan. Tapi sesuai dengan aturan, mohon Khalifah tanda tangan di selip penerimaan sebagai bukti Khalifah sudah ambil gaji di depan. Tentu saja bukan masalah buat sang Khalifah.

Sebelum tanda tangan ia baca baik-baik redaksi slip tersebut: "SAYA, YANG BERTANDA TANGAN DI BAWAH INI, KHALIFAH, MENYATAKAN TELAH MENGAMBIL DI DEPAN GAJI SAYA UNTUK BULAN JUNI, DAN MENJAMIN BAHWA SAYA AKAN TETAP HIDUP SAMPAI TANGGAL PENERIMAAN GAJI, YAITU TANGGAL 1 JUNI"

Membaca redaksi tanda terima itu, Khalifah bergetar seluruh tubuh menggigil ketakutan. Ia sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Serta merta ia bilang, "Wahai anakku, tunggulah. Insya Allah kalau saya masih hidup sampai tanggal terima gaji, kamu akan dibelikan baju baru!" Cerita ini juga saya kutip dari ceramah ustad. Isinya sangat mencerahkan. Tepatnya mengingatkan. Bahwa ajal bisa datang kapan saja!

Tulisan ini bukan mau membahas masalah ajal. Tapi cerita di atas menjadi latar belakang ide tulisan ini. Kita tidak pernah tahu kapan akhir dari kehidupan kita. Kita juga tidak pernah tahu apa yang akan terjadi bahkan 1 menit ke depan dalam kehidupan kita. Kalau kita ingin berakhir dengan baik, harus kita pastikan bahwa yang kita lakukan adalah yang baik-baik saja dan buruan untuk hanya mengerjakan yang baik-baik. Dengan mengingat bahwa kita berpacu dengan waktu dalam mengejar kebaikan, pada diri kita akan timbul sense of urgency.

Ini juga berlaku dalam bisnis. Saya pribadi sering merasakan atau mengalami untuk menunda-nunda pekerjaan. Akibatnya, justru pada detik-detik terakhir dari waktu yang ditentukan (dateline), saya buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Efeknya bisa besar. Kadang saya jadi tidak punya waktu yang cukup untuk mengecek apakah hasil kerja saya sudah betul atau tidak. Sense of urgency perlu kita tumbuhkan sejak dini.

Apalagi kita orang Indonesia sudah dicap sebagai bangsa ngaret. Sense of urgency bisa menumbuhkan kedisiplinan. Ambil contoh orang Jepang. Mereka tahu bahwa mereka bukan negara kaya. Makanya harus kerja keras. Kalau tidak kerja keras tidak bisa bertahan sebagai bangsa. Ini juga terjadi dengan Singapura. Menumbuhkan sense of urgency tidak perlu sewa konsultan dan bayar mahal. Ilmu ini gratis. Bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja tanpa perlu bayar copyright fee.

Caranya dengan showing by doing. Di dalam keluarga, orang tua mesti jadi pionir. Di sebuah perusahaan, pimpinan mesti jadi ujung tombak. Di kemasyarakatan atau pemerintahan, sama saja, aparat harus jadi contoh. Berikut adalah beberapa contoh bentuk implementasi sense of urgency:

1. Daerah saya PADnya rendah, kalau dikorupsi semuanya akan habis

2. Wilayah saya penduduk miskinnya banyak, kalau tidak bikin program yang langsung kena sasaran, penduduk miskin akan semakin banyak

3. Murid-murid saya tahun depan akan menghadapi UAN. Kalau saya tidak giat mengajar mereka akan gagal

4.Dan lain-lain

Jadi jangan tunda lagi, mari kita tumbuhkan sense of urgency.......selama hayat masih di kandung badan.....


Catatan:
Sumber gambar dari www.healthmgttech.com

22 Mei, 2007

Hikmah Dari Sumbu Lilin


Lampu di kamar mandi saya semalam mati. Untuk itu saya pakai lilin. Lumayan terang sebagai pengganti lampu. Tapi lama kelamaan lilinnya mulai redup. Saya perhatikan materi lilinnya masih banyak bergumpalan di bagian dasar kaleng yang saya pakai sebagai dudukan. Tapi kok nyalanya jadi redup?

Setelah saya lihat lebih dekat, ternyata sumbunya sudah pendek. Jadi walaupun zat lilinnya masih banyak karena terkumpul di dasar kaleng, karena sumbu yang akan terbakar tidak ada lagi, nyalanya redup dan tidak bisa memancarkan cahaya terang.

Kebetulan sekali semalam juga saya hadiri takziah tetanggan yang kedukaan. Ustadnya ceramah sangat menggugah. Salah satu penekanan yang beliau sampaikan bunyinya,"Saudara-saudara, ketahuilah bahwa bagaimanapun banyaknya amalan anda, kelak di akhirat, buah dari amalan ini hanya dapat dinikmati apabila kita memiliki kuncinya, yaitu shalat. Jadi, buah amalan kita yang ada di dalam box hanya bisa kita buka bila memiliki kunci yaiti ibadah shalat yang kita miliki di dunia." Saya jadi sadar. Ternyata dalam hidup ada sumbu-sumbu, atau kunci-kunci yang penting agar sumber daya lain bisa berguna untuk kita. Salah satunya adalah ikhtiar.

Ada contoh bagus yang saya dapatkan tidak jauh dari rumah saya. Rumah saya berlokasi di kawasan kota baru yang sebelumnya memang tidak ditinggali orang. Sebuah grup pengembang nasional kemudian mengembangkan kawasan baru di areal ini dengan berbagai fasilitas. Bahkan pengembang bekerjasama dengan pemkot mereklamasi laut untuk membuat jalan pintas menuju kawasan ini. Di dalam kawasan dibangun macam-macam fasilitas. Ada mall, rekreasi pantai, dan kawasan ruko.

Jumlah penghuni memang mulai meningkat. Tapi satu tantangan terbesar yang dialami pengembang adalah jumlah pengunjung ke mall dan ruko sangat jauh di bawah harapan. Sepi selalu! Saya kagum karena pengelola terus mencari cara agar jumlah pengunjung ke mall dan ruko bisa meningkat.

Akhirnya mereka dapat ide. Di depan areal ruko, pengelola menyediakan kawasan berjualan makanan dan lain-lain, lengkap dengan tenda dan meja kursi, gratis bagi siapa saja untuk diapakai jualan. Bahkan disediakan pula layar lebar untuk nonton bareng sepak bola live atau F1 dan GP.

Cara ini ternyata manjur. Awalnya hanya penghuni kawasan yang sering datang karena memang ini sangat membantu orang-orang seperti saya yang tidak punya pembantu dan lebih sering cari makan di luar. Belakangan orang luar kawasan mulai berdatangan, terutama malam minggu dan hari minggu.

Sekarang saya perhatikan mall lebih ramai daripada dulu. Mungkin ini himah yang bisa kita tangkap. Bahwa sumbu atay kunci kita dalam hidup atau berusaha jangan sampai putus atau patah. Ikhtiar mesti selalu diadakan. Bagaimanapun banyaknya sumber daya lain seperti uang, pengetahuan atau keterampilan, tapi kalau tidak diaktualisasikan dengan ikhtiar, sumber daya itu jadi tidak berguna.

Sekarang mari kita cek. Apakah sumbu-sumbu lilin kita sudah cukup panjang untuk bisa memberi jalan kepada sumber daya lain agar sama-sama memberi cahaya terang menuju kemajuan?


Catatan: