18 Juli, 2007

Mengapa Tidak?


Tulisan ini saya posting GM2020 tanggal 26 Juni 2007. Selamat membaca.


*********


Di Gorontalo kita punya UNG. Saya pribadi senang dengan suasana kampusnya. Pernah pula beberapa orang akademisi dari Jepang yang saya temani mengunjungi kampus ini bilang ke saya bahwa mereka senang sekali dengan suasana kampus Jambura.

Maaf, saya bukan membesar-besarkan. Saya tulus menyampaikan pendapat para akademisi itu dan setahu saya, mereka juga tulus menyampaikannya ke saya.

Bagi saya, simple complement ini saja sudah bisa membuktikan bahwa UNG punya banyak potensi. Di postingan terdahulu saya pernah menulis tentang potential energy. Jangan tanya saya tentang penjelasan Fisika ilmiah dari potential energy ini. Saudara MY mungkin adalah ahlinya. Tapi dari segi common philosophy, saya melihat UNG punya potential energy yang besar.

Saya kenal baik dengan Bapak Rektor Nelson Pomalingo. Kami biasa tukar pikiran. Kami punya banyak kesamaan pikiran, tapi tidak sedikit pula hal-hal yang bisa diadu argumentasikan. Demikian pula dengan banyak orang-orang senior di UNG yang saya kagumi dan hormati.

Belakangan saya sudah jarang ke kampus Jambura. Terakhir awal Februari lalu, itupun untuk urusan bisnis yang lain.

Saya pikir ini kesempatan baik untuk saya mengajukan satu tema untuk sharing, demi kemajuan UNG ke depan.

Dalam beberapa kesempatan berinteraksi dengan rekan-rekan UNG, saya merasa ada sesuatu yang kurang.

Saya ingin mengutip kata-kata Bapak Rektor Nelson Pomalingo yang membekas di hati saya. Menurut beliau, UNG adalah pusatnya ilmu pengetahuan di Gorontalo. Bagi masyarakat Gorontalo, apapun itu, UNG akan dianggap sebagai tempat bertanya. Jadi, bisa atau tidak, UNG harus siap untuk menerima pertanyaan dari masyarakat dan harus siap dengan jawabannya.

Kata-kata ini selalu saya kenang.

Tapi sekali lagi, saya rasakan ada sesuatu yang kurang.....

Dalam suatu kesempatan saya datang ke UNG untuk melakukan TOT untuk persiapan pendirian sebuah lembaga yang saya bertindak sebagai konsultan di dalamnya. Jauh-jauh dari Makassar saya sudah persiapkan materi TOT tersebut. Alangkah kagetnya saya karena beberapa peserta TOT hanya datang untuk absen dan pulang.

Mungkin ini yang dimaksud oleh saudara Arfan Entengo yang saya kutip dalam postingan sebelumnya. Saudara Arfan mengingatkan kita agar tulus dalam hal apa saja.

Mungkin ini yang kurang. Mungkin ketulusan para akademisi di UNG perlu ditingkatkan lagi agar tujuan memajukan UNG, baik itu para dosen atau mahasiswa, atau masyarakat yang bertanya pada UNG sebagai tempat bertanya, bisa tercapai.

Ada seorang teman dekat saya di UNG. Menurut saya beliau sangat idealis dan tulus. Beliau pernah curhat ke saya. Pak Irwan, di kampus banyak orang sekedar mengejar 3K: Koin, Kredit, (1K-nya lagi saya lupa).

Barangkali sinyalir teman saya itu bukan cuma terjadi di UNG. Di kampus-kampus lain juga terjadi.

Tapi kalau memang begitu, mengapa tidak di UNG kita usahakan tidak begitu?

Masih ada lagi yang kurang menurut saya........ ..

Kreatifitas.

Sekali lagi ini mungkin bukan cuma di UNG. Bisa jadi ini masalah umum di banyak kampus. Satu hal bisa sangat membelenggu perkembangan kita karena ketiadaan kreatifitas. Biasanya penyebabnya klasik atau klise. Kita menganggap bahwa kita tidak punya banyak hal sehingga kita tidak bisa melakukan banyak hal.

Saya ingat tahun lalu. Saya mengantar seorang akademisi Jepang yang sedang menjajaki format pengembangan pendidikan bahasa Jepang di UNG secara khusus, di Gorontalo secara umum. Ketika itu, kami sempat berkunjung ke sebuah SMA di Tibawa (kalau tidak salah). Di SMA ini, kami dapat kabar diajarkan bahasa Jepang sebagai bahasa asing pilihan dan banyak diikuti oleh para siswa.

Sampai di sana, kami luar bisa surprise! Sekelas penuh sesak siswa yang mengambil mata pelajaran bahasa jepang sudah berkumpul. Mereka dengan semangat menyimak kata-kata sang tamu dari Jepang, dan mereka menyuguhkan banyak lagu yang lagi ngetop di Jepang lengkap dengan iringan gitar dan electone.

Yang menarik dan luar bisa, ternyata guru bahasa jepang di sekolah ini tidak memiliki kualifikasi sebagai pengajar bahasa jepang. Guru tersebut adalah mantan tenaga magang di Jepang yang nota bene kemampuan bahasa jepangnya sebenarnya tidak bisa diapakai mengajar di sekolah formal.

Kami takjub dan mengacungkan 2 jempol! Masih ada lagi, mereka bahkan rutin mengadakan perlombaan pidato bahasa Jepang.

Ketulusan dan kreatifitas tenaga magang ini mungkin bisa jadi referensi bagaimana banyak hal bisa dimajukan dengan dua hal tersebut.

Kalau di kampus lain banyak dosen yang kurang kreatif, mengapa tidak di UNG kita bikin tidak begitu?

Waktu SMA saya sempat ikut pertukaran pelajar di Jepang. Selama setahun saya sekolah di SMA setempat selayaknya siswa-siswa Jepang yang lain.

Sepulang sekolah biasanya saya nongkrong di depan TV. Salah satu acara favorit saya adalah perlombaan adu robot antara mahasiswa Jepang dengan mahasiswa MIT - AS. Belakangan di Indonesia saya lihat ada lomba serupa.

Ketika itu saya takjub sekali. Robot-robot yang dibikin oleh para mahasiswa itu kelihatannya dari bahan sederhana. Tapi hasilnya luar biasa.

Saya bukannya minta di UNG kita bikin adu robot juga. Tapi mungkin ide atau kreatifitas seperti ini perlu ditiru. Banyak teknologi sederhana yang saya yakin orang-orang UNG bisa membuatnya. Tidak perlu muluk-muluk atau mahal-mahal. Yang penting betul-betul bisa membantu masyarakat Gorontalo.

Jadi, sebagai orang awam yang bukan akademisi, itulah yang sejauh ini saya anggap kurang. Bisa saja di kampus-kampus lain kekurangan seperti itu juga ada. Atau mungkin lebih buruk. Tapi mengapa tidak di UNG kita bikin tidak seperti itu?

Mengapa tidak?

Tidak ada komentar: