16 Agustus, 2007

Bagi Fikir


Ini kosa kata baru bagi saya. Sebelumnya saya tahu ada kosa kata ‘bertukar pikiran’, tapi begitu mendengar kosa kata ini, saya langsung suka.

Adalah Ustadz Misbah yang memperkenalkannya. Semalam saya baru kenal beliau. Kunjungannya tiba-tiba, diajak oleh anak menantu salah seorang jamaah. Alhamdulillah. Sejak mesjid kami berdiri, kami sering ketiban rezeki tiba-tiba dengan kedatangan ‘usatdz tak diundang’.

Ba’da Maghrib yang dipimpin oleh Ustadz Misbah, beliau meminta para jamaah tinggal sejenak mengisi majelis. Karena tiba-tiba, jumlah jamaah memang tidak sebanyak jamaah pengajian rutin Jumat malam.

Kemudian beliau mulai. Ustadz Misbah bilang, beliau tidak akan ceramah. Katanya, berdasarkan pengalaman, banyak jamaah yang sudah bosan dengar ceramah. Makanya beliau bilang, bagaimana kalau para jamaah ‘berbagi fikir’ saja?

Saya sudah tertarik mendengar mukaddimah beliau. Dan benar, beliau hanya beri sedikit pengantar, selanjutnya beliau minta jamaah untuk bicara memberi pertanyaan, atau komentar kalau ada.

Alhamdulillah majelis bagi fikir berlangsung hangat. Pertanyaan dari satu jamaah ditimpali komentar oleh jamaah lain. Ustadz Misbah hanya memberi referensi bila diperlukan. Mirip betul dengan forum diskusi di sekolah saya dulu.

‘Fikir yang dibagi-bagi’ isinya juga menarik. Tapi saya mau lebih fokus memberi catatan tentang kegiatan bagi fikir itu sendiri. Ada komentar menarik yang membekas keras dari Ustadz Misbah. Beliau bilang, fikir itu letak kemajuan manusia. Manusia bisa maju karena fikir. Ketika manusia berhenti mengeksplorasi fikir-nya, berhenti pula kemajuannya.

Saya setuju. Ini pemikiran jenius. Ini adalah pendidikan yang sesungguhnya. Ini dobrakan besar.

Memang bukan hal baru bahwa kita dicoba untuk disadarkan atau dicerahkan tentang betapa pentingnya pendidikan. Wong deso sekalipun sekarang ini lancar bicara tentang pentingnya pendidikan. Masalahnya, kita sudah terlalu jauh dibelokkan dari jalur yang benar. Bahwa pendidikan itu seharusnya berlangsung di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja untuk siapa saja, dan dalam bentuk apa saja. Pendidikan bukan cuman di sekolah.

Ustadz Misbah sudah membuktikan. Buktinya, dalam majelis bagi fikir semalam, kami belajar banyak. Yang hadir mulai dari Dg. Bella yang kalau duduk tasyahud sudah tidak bisa dan terpaksa duduk bersila, sampai dengan anak saya si Ai yang kerjanya cuman lari ke sana ke mari di sekitar mesjid untuk ngusir nyamuk.

Satu poin yang sangat signifikan dan relevan dari majelis bagi fikir dalam hubungannya dengan dunia sekarang yang sangat materialistis, bahwa ketika kita tidak punya sebentuk benda sekalipun untuk dibagi lagi dengan sesama, kita masih punya ‘fikir’ untuk kita bagi.

Betapa indahnya……….