11 Juli, 2007

Piramida Batu vs Piramida Bambu


Kekaguman saya akan piramida firaun di Mesir sudah lama. Sayang saya tidak tahu banyak tentang piramida ini. Apalagi dari segi teknik, saya buta hal-hal yang berbau teknik sipil.

Tapi dari sedikit yang saya ketahui itu cukup mengajarkan banyak hal.

Piramida firaun mesir bahannya batu. Ukurannya besar dan beratnya tidak diragukan lagi tergolong “sangat berat”. Misteri bagaimana membangunnya menjadi lebih mengundang pertanyaan kalau kita lihat banyaknya jumlah batu yang harus dipakai. Pertanyaan tidak berhenti sebab ukuran bangunan yang begitu besar dan tinggi, membuat kita bertanya lagi, bagaimana menaikkan batu seberat itu ke susunan yang lebih tinggi?

Tapi kenyataannya bahwa piramida firaun Mesir berdiri kokoh hingga sekarang. Meninggalkan tanda-tanda bagi kita untuk membaca kekuasaan Allah SWT.

Dari ke-”sedikitan” pengetahuan akan piramida firaun mesir itu, ternyata ”penampakan” hikmah di baliknya tidak serta merta sedikit. Berikut apa yang saya lihat muncul itu.

Firaun itu adalah raja besar di jamannya. Ia berkelebihan. Ia berlebih dalam kepemilikan. Ia berlebih dalam kekuasaan. Ia bergelimang kekayaan di jamannya. Rakyatnya tunduk atas perintahnya. Bahkan ia pun mengklaim diri sebagai tuhan. Saking berlebihannya dia.

Ke-”berlebihan” firaun membuatnya berpikir bahwa sumber daya itu tidak ada nilainya. Membuang yang banyak, dia masih tetap punya lebih banyak. Makanya ia pikir tidak ada yang sulit. Kalau ia mau tinggal bilang. Rakyatnya, mau tidak mau harus mau. Makanya belakangan ia menganggap diri sebagai Tuhan. Dia punya versi sendiri tentang "Kun, fayakun".

Piramida batu firaun bisa terbangun dengan filosofi berlebihan firaun ini. Batu, yang notabene mewakili bahan bangunan terbaik dan termahal di kala itu, berapapun dan dari manapun diadakan. Tenaga kerja, tentu saja manusia, berapapun jumlah orangnya disediakan. Kalau ada yang mati selama proses kerja, tidak masalah, toh mereka hanya alat, begitu dari sudut pandang firaun.

Hasilnya, piramida batu yang kokoh bahkan hingga jaman moderen.

----------------------

Setelah terkagum-kagum dengan piramida batu firaun, pikiran saya menerawang ke sesuatu yang sedikit banyak berlawanan dari segi filosofi. Bagaimana kalau kita bangun piramida bambu?

Bentuknya sama persis dengan piramida batu – mungkin kalau saya tulis bentuk piramida saja anda sudah mengerti. Piramida ini sesuai namanya berbahan bambu. Tentu saja kekuatannya bukan tandingan piramida batu.

Bahan bambu adalah bahan yang murah. Mendapatkannya juga tidak susah. Ini jauh dari kesan berlebihan a la firaun. Bambu-bambu harus dipotong dalam ukuran tertentu, kemudian diikat satu sama lain sampai terbentuk formasi piramida yang kita mau.

----------------

Kalau kita sandingkan dua piramida ini, hanya bentuk piramidanya saja yang semua orang akan sepakat bahwa itu sama-sama piramida. Tapi yang lain, bagai bumi dan langit!


Bedah Piramida

Sekarang mari kita bedah kedua piramida ini. Di awal tulisan saya bilang banyak hikmah yang bisa ditarik. Berikut hasil bedah saya.

Piramida batu terbangun di atas perasaan sombong. Berlebihan. Mentang-mentang sumber daya yang ada dianggap berlimpah, maka pantaslah untuk dikorbankan. Atau kita boleh baca dihambur-hamburkan. Padahal piramida ini dibangun hanya untuk kesenangan penguasa. Makanya piramida ini juga identik dengan kekuasaan absolut. Kekuasaan yang pada akhirnya hancur ditelan laut.

Piramida bambu memiliki filosofi sebaliknya. Kalau dianggap piramida itu memang urgent untuk dibangun, maka pemilihan bahan baku bambu didasari oleh kesadaran bahwa sumber daya itu terbatas. Meskipun bahan bambu itu lemah dibanding batu, tapi bukan berarti tujuan mendirikan piramida dengan menggunakan bambu tidak bisa terwujud. Konsekuansinya tentu jelas. Piramida ini harus rajin diperiksa (dengan bahasa moderen ”di-maintain”). Untuk itu harus ada disiplin super yang menjamin bahwa unsur-unsur krusial piramida bambu tetap terjaga dan bisa berdiri kokoh. Pelanggaran atas kedisiplinan ini bisa berarti fatal.

Bangsa dan piramida

Dua jenis piramida di atas bisa kita analogikan dalam membaca perilaku sebuah bangsa.

Singapura itu miskin pada dasarnya. Saya lupa edisi kapan, tapi pernah harian Kompas memuat foto Singapura jaman dulu. Waktu lihat foto itu, sungguh mati saya pikir foto itu foto pasar sentral Makassar tempo doeloe. Kalau anda ingat bagaimana Singapura megap-megap waktu pemerintah kita larang ekspor pasir ke sana, itu bukti lain bagaimana Singapura yang pasir saja tidak punya.

Tapi Singapura itu sadar kalau mereka miskin. Mereka tahu mereka tidak bisa berlebihan. Mereka tahu bahwa kalau mau maju harus ikut aturan, dengan kata lain disiplin. Makanya jangan heran kalau Singapura adalah salah satu kota terbanyak dan terkeras aturannya di dunia.

Sekarang anda tahu sendiri. Ke mana lagi para jutawan Indonesia menghabiskan sore harinya dan pulang ke rumah di malam hari kalau bukan di Singapura? Di mana pula perusahaan-perusahaan raksasa dunia membuka pusat perwakilan Asia Tenggara kalau bukan di kota singa ini?

Jepang juga negara miskin. Kalau ini saya pribadi sebagai saksi. Saya pernah hindup di negeri matahari terbit ini dan menyaksikan betapa sebenarnya negara ini miskin. Luas wilayahnya jauh di bawah Indonesia. Hasil buminya apa lagi. Kondisi wilayah yang menjadi tempat banyak gunung berapi aktif ini mengenaskan. Sebentar-sebentar gempa. Kata Tsunami adalah kosa kata dari negara ini begitu akrabnya mereka dengan berbagai kesulitan alami.

Tapi siapa tidak kenal Jepang yang disebut kekuatan ekonomi ke-2 terbesar di dunia setelah Amerika? Ini surga bagi TKI kita. Mereka bisa banting tulang cari duit di sini secara legal maupun illegal dan mereka dibayar mahal. Saya tidak tahu kalau di negara lain, tapi mungkin hanya di Jepang ini seorang mahasiswa yang akan pulang ke negaranya, itu saya sendiri ketika program belajar saya selesai, harus bersusah payah mencari orang yang mau menerima TV dan kulkasnya, dan ujung-ujungnya harus membuangnya karena orang lain (baca: mahasiswa lain) sudah pada punya.

Dua contoh negara yang ”pada dasarnya” miskin di atas mungkin cukup menggambarkan apa yang saya maksud dengan Filosofi Piramida Bambu. Mungkin prematur atau tidak ilimiah, tapi bagi saya cukuplah. Filosofi ini mengajarkan kepada saya bahwa dengan menyadari berbagai keterbatasan kita akan terpaksa dan akhirnya terbiasa untuk disiplin. Kita akan sangat menghargai sumber daya dan tidak berlebih-lebihan. Kita akan patuh pada aturan sebab melanggar aturan berarti mencari masalah, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah yang beresiko merobohkan piramida kita sendiri.

Saya bukan tipe pesimis. Tapi pengamatan saya melihat bahwa bangsa kita terkena sindrom Piramida Batu. Kita terlena oleh kekayaan kita. Kita berpikir bahwa dengan kekayaan alam Indonesia sudah cukup untuk bersenang-senang. Kita sibuk melanggar aturan. Tindakan atas pelanggar hukum pun tebang pilih sesuai kepentingan penguasa. Kasus RMS di Ambon yang terjadi di depan presiden SBY belum lama ini kita ributkan dan saling cari siapa yang paling ’berhak’ disalahkan. Sementara kasus yang jelas-jelas sama di Papua melalui Konferensi Rakyat Papua yang mengeluarkan rekomendasi merdeka kita bilang harus dilihat secara bijaksana.

Mungkin sejarah firaun harus terulang. Bahwa firaun dan antek-anteknya harus ditelan laut dulu baru kita sadar. Entah bagaimana itu ditelan laut versi moderen ini. Tapi kalau setelah ditelan laut pun kita tidak sadar, bukan saja bahwa kita berfilosofi piramida batu, tapi kepala kita betul-betul sudah batu!

Catatan:

Gambar Piramida diambil dari www.monter.pl

Tidak ada komentar: