31 Juli, 2007

PILKADA Idol


Seandainya pemilihan kepala daerah seperti pemilihan Indonesian Idol di RCTI, urusannya akan sederhana.

Minggu lalu saya dan istri menunggui acara Grand Final Indonesian Idol sampai selesai. Sebenarnya saya bukan penggemar berat acara ini. Tapi istri saya setiap minggu tidak pernah ketinggalan. Akibatnya saya terbawa juga. Saya jadi ikut-ikutan menjagokan Rini yang selain cantik, teknik menyanyinya juga yahud.

Sebelum pengumuman di acara terakhir Result & Reunion, saya dan istri beberapa kali adu predikisi. Istri saya bilang, Wilson dari Ambon bisa saja unggul, sebab berdasarkan pengalaman, peserta dari kota-kota yang relatif lebih kecil justru lebih kompak pendukungnya mengirim SMS. Bahkan Walikota atau Gubernur asal kontestan bisa turun tangan menyediakan voucher untuk mengirim SMS dengan harapan kalau kontestan dukungannya menang, nama daerahnya juga akan terangkat.

Untuk argumen ini saya setuju dengan istri saya. Dulu waktu Indosiar masih getol-getolnya mengandalkan AFI, polanya memang serupa. Kebetulan pernah seorang kontestan dari Makassar ikut serta hingga ke Grand Final. Di Makassar ramai diadakan acara nonton bareng. Tidak kurang Walikota dan Gubernur hadir di nonton bareng itu. Bahkan mertua saya yang beberapa kalai menginap di rumah dan menonton acara itu tidak ketinggalan mengirim SMS agar wakil Makassar bisa menang.

Tapi saya dan istri saya beda pendapat untuk satu hal. Di Indonesian Idol terakhir, kelihatan sekali bahwa teknik menyanyi Rini jauh di atas Wilson. Istri saya bilang, pihak penyelenggara pasti akan campur tangan memenangkan Rini bagaimanapun hasil SMS yang masuk. Penyelenggara pasti tidak mau mengambil resiko bahwa kontestan yang kemampuannya lebih di bawah akan menang. Masih kata istri saya, ini juga masalah bisnis. Soalnya kalau peserta yang kurang baik yang menang, sementara penyelenggara menjanjikan kontrak rekaman, takut nanti albumnya kurang laris.

Pikiran istri saya terus saya bantah. Kata saya, masak sih RCTI berani membohongi publik? Ini kan kontes adu populer yang ditentukan oleh SMS. Kalau penyelenggara tidak konsisten dengan itu, mereka bisa kena tuntut karena membohongi publik.

Apapun adu argumennya, belakangan Rini keluar sebagai the next Indonesian Idol. Wilson, meskipun kalah, bukan berarti hidupnya tidak berubah. Paling tidak, baik Rini dan Wilson, keduanya akan berubah hidupnya, begitu senantiasa janji pembawa acara Ata dan Daniel.

Itulah kontes idol. Kontes ini setau saya memakan waktu sekitar 6 bulan dan melibatkan biaya tidak sedikit. Kontestan yang mendaftar pun banyak. Bahkan dalam Indonesian Idol yang menghasilkan Rini sebagai the next Indonesian Idol, penyelenggara mengklaim peserta yang ikut audisi sebanyak 90.000 kontestan! Luar biasa!

Tapi ternyata penentuan pemenang, bagaimanapun menegangkannya, sungguh sangat sederhana. Berdasarkan SMS yang masuk. Ini oleh penyelenggara diklaim sebagai representasi kopopuleran sang idol.

*******

Coba amati pemilihan kepala daerah (pilkada) di Negara kita. Saya perhatikan, modelnya kok jadi lebih mirip kontes idol ketimbang pemilihan pemimpin.

Bakal calonnya semua senada. Dalam materi kampanye pasti memuat unsur kesukuan. Kalau mau contoh gampang, simak iklan balon gubernur Jakarta, Fauzi Bowo. Jelas-jelas iklannya menyebutkan, ‘orang Betawi asli!’.

Metode kampanye juga tidak beda dari kontes idol. Ke mana-mana pakai konser nyanyi. Iklannya juga pakai artis-artis beken. Konvoi tidak habis-habis.

Nyata sekali kalau semuanya menyangkut popularitas. Sesuatu yang bisa didongkrak secara instan. Ujung-ujungnya tidak jauh-jauh dari duit. Siapa berduit lebih tebal, bisa mendongkrak popularitas lebih tinggi dengan berbagai cara instant.

*******

Masalahnya kontes idol bukan menyangkut hidup banyak orang. Semata-mata menyangkut 2 orang grand finalist. Bahwa setelah acara grand final, hidup kedua grand finalist secara material akan berubah signifikan.

Tapi pilkada adalah masalah rakyat banyak. Bukan sekedar adu popularitas yang akan merubah hidup 2 balon. Ini masalah berjamaah. Ini masalah perut kosong, kepala kosong, dan banyak kekosongan lain.

Kalaupun ada dari Indonesian Idol yang perlu kita tiru dan adaptasi dalam pilkada, adalah penekanan dari para pembawa acara hampir di setiap saat ditayangkannya kontes ini. Yaitu bahwa siapapun yang akan terpilih sebagai idol, keputusan ada di tangan anda. Keputusan ada di tangan Indonesia.

Perintah ini layak kita taati. Bahwa dalam pilkada, keputusan memang ada di tangan anda. Jadi, putuskanlah! Tapi tolong, putuskan dengan bijak. Berlandaskan analisis akurat. Bahwa balon yang anda tusuk bukan bermental idol yang hanya ingin mengubah nasib sendiri. Tapi bermental imam shalat yang ingin memimpin jamaah secara bersama-sama mencapai selamat.

Kalau ini yang terjadi, barulah layak di akhir kontes kita umumkan, bahwa Indonesia, atau rakyat, telah memilih……..

Wassalam.

Tidak ada komentar: