06 Agustus, 2007

Kalla Evans Part 1


Tentu ini kehendak Allah. Ketika dua kejadian berbeda muncul jadi berita di hari dan halaman yang sama di harian Kompas edisi 4/7.

Berita pertama tentang perintah Wapres Jusuf Kalla. Kalla minta para pejabat tidak usah bikin kegiatan studi banding lagi ke luar negeri kalau memang tidak benar-benar penting. Satu karena ini menghabiskan uang rakyat. Kedua, mitra di luar negeri, kata Kalla, sudah capek dengan kunjungan pejabat Indonesia. Hari ini ada yang datang studi banding dan nanya satu hal, besoknya ada lagi yang datang padahal isi pertanyaannya sama.

Berita kedua tentang kunjungan mantan menlu Australia Garreth Evans ke Mahkamah Konstitusi. Selain sowan, Evans mengingatkan ketua MK betapa besar potensi konflik di Indonesia. Konflik kata Evans, terutama besar potensinya di Aceh, Ambon, dan Papua. Salah satu yang berpotensi menyebabkan konflik adalah masalah agama.

Pembaca umumnya saya yakin menganggap dua berita itu tidak ada hubungannya. Tapi saya lihat hubungannya ada. Entah kenapa cuman saya yang lihat. Mungkin karena cuman saya yang mau menghubung-hubungkan kedua berita itu.

Tanya hubungannya apa?

*******

Sebenarnya jawabannya terlalu mengada-ada. Tapi biar saja. Yang penting ada.

Saya komentar dulu tentang berita pertama. Mau hapus studi banding? Impossible! Studi banding itu salah satu penggerak ekonomi Indonesia. Bayangkan, dengan studi banding ke luar negeri, industri pertama yang kena imbas bagusnya adalah travel agent dan perusahaan penerbangan. Teman saya, dan boleh tanya teman anda, yang kerja di dua industri itu sudah konfirmasi ke saya, klien terbesar mereka ya pejabat. Terus ada industri media, terutama cetak, lebih spesifik lagi majalah, lebih detail lagi majalah shopping. Nah, karena kegiatan belanja di luar negeri (yang dibungkus dengan judul studi banding) oleh pejabat itu memerlukan persiapan (dengan kata lain perlu mengecek katalog belanja dulu), majalah shopping adalah jawaban paling tepat. Calo-calo imigrasi juga kena imbas. Setiap pejabat yang mau keluar negeri, tentu harus pakai paspor. Namanya juga pejabat, malas dong turun tangan langsung ke lapangan. Makanya pakai calo urus paspor. Di sini saja uang beredar besar. Lucunya, para pejabat itu sebelum berangkat shopping ke luar negeri, mesti didahului shopping juga di dalam negeri. Ini untuk memenuhi perlengkapan standar sebagai ‘turis’. Namanya juga mau naik pesawat jauh lintas negera, harus berkelas dong. Namanya juga ‘turis’ gitu loh! Terbilang kaca mata rayban sebagai perlengkapan standar. Ditambah tas troli kulit. Satu untuk bagasi satu untuk bawa masuk kabin. Jaket juga mesti yang bagus. Apalagi kalau negara tujuan bermusim empat. Perlu dong ada syal, sweater, penutup kepala wol, sarung tangan, de el el. Untuk urusan ini saja uang beredarnya selangit. Senter-senter saya, mungkin ini yang bikin angka inflasi naik terus.

Kalau daftar di atas, saya teruskan, bisa tidak habis-habis. Pokoknya, ekonomi Indonesia berputar balik karena studi banding ini. Tapi sayang, industri percetakan buku tulis dan alat tulis tidak terlalu kena imbasnya. Mungkin lokasi toko-toko yang jual buku tulis dan alat tulis kurang bagus atau tersembunyi jadi selalu kelupaan kena imbas. Padahal mereka semestinya justru sangat dibutuhkan kalau pejabat itu studi banding. Kan untuk menulis hasil studinya selama di luar negeri. Itu pasti banyak. Yah, kalau ternyata selama di luar negeri aslinya memang cuman belanja, kan buku tulis dan alat tulis tetap penting untuk menulis daftar belanjaan gitu, biar tidak ada yang kelupaan.

Sekarang tentang berita kedua. Ini ada orang bule mantan pejabat datang ke Indonesia kasih tau kita bahwa kita rawan konflik. Lucu, karena orang bule mengaku-ngaku lebih tahu daripada kita sendiri yang sehari-hari hidup, makan, tidur, ‘e’e di negeri ini. Orang-orang bule itu memang kadang bertingkah betul. Tidak semua memang, tapi kebanyakanlah. Kalau nggak percaya hitung sendiri!

Trauma saya sebagai bangsa diajari oleh orang bule ketika dulu masih jaman Soeharto, Indonesia sudah di puncak krisis, diajari pula oleh IMF yang pemimpinnya waktu itu saya lupa tapi kalau tidak salah orang Belanda. Ada kan fotonya besar-besar, Presiden Soeharto disuruh tanda tangan sambil difoto, di shooting, dan dipelototi orang sebangsa sedunia, sambil bos-nya IMF lipat tangan serasa puas.

Kenyataannya lihat saja sampai sekarang. Belum kelar krisis satu, muncul dua krisis baru. Belum habis kaget kita, ditimpa lagi 3 kiris. Ini namanya deret apa sih? Deret ukur atau deret hitung? Kalau saya sih menamakan ini ‘deret terus’, deretannya terus-terus saja ada. Seperti virus di komputer saya.


********

Ini bagian terakhirnya. Di sini hubungan kedua berita itu.

Begini. Mungkin karena studi banding ke luar negeri memang mustahil wal mustahal kita hapuskan, dengan kata lain ini sudah jadi budaya formal legal, yang secara tersirat sudah ada dalam standar operating procedure setiap orang jadi pejabat, maka orang-orang di luar negeri pun sudah tahu. Bahwa pejabat Indonesia itu suka minta diajarin. Mereka sudah ngerti, biar pejabatnya bergelar Dr.-PhD, orang Indonesia memang merendahkan diri dengan selalu mau diajari. Makanya Garreth Evans datang mengajari.

Ini namanya tidak ada akibat kalau tidak ada sebab. Apalagi bule-bule Eropah dan Amerika, sudah badan mereka tinggi, klop deh citranya kalau mereka memang cocok jadi guru untuk kita. Belakangan orang-orang Asia lain seperti Jepang, Korea, Cina sudah mulai ikut-ikutan. Tapi bagusnya, karena badan mereka tidak setinggi ‘guru-guru’ kita dari Eropah-Amerika, tingkah mereka lebih seperti tutor, atau guru les. Tapi tetap saja, mereka ngajari kita.

Dengan ini anda bisa lihat hubungan kedua berita di atas, kan? Berhubungan, kan? Kalau Wapres Kalla minta studi banding dihapus karena alasan yang sudah disebutkan di bagian awal tulisan ini, saya juga minta dihapus karena alasan yang ini. Karena studi banding bikin kita di mata orang-orang luar negeri semakin bodoh saja. Kita selalu menempatkan diri sebagai mau diajar saja. Kita tidak pernah menghargai proses. Bahwa dengan sistem yang kita bikin sendiri, meskipun nanti terbukti ada salahnya, yang penting kita evaluasi dan perbaiki, itu tetap lebih bagus.

Tapi ya mau bagaimana lagi? Wong uang beredar melalui studi banding ini besar?! Celakanya, ini membantu ekonomi kita juga berputar. Berputar jungkir balik tapinya.

Pusiiiiiiiiiing………………!!!!!

Gambar diambil dari sini.

Tidak ada komentar: