08 Agustus, 2007

Bilangan Kecil & Bilangan Besar


Bismillahirrahmaanirrahim.

Ilmu ini bukan dari saya. Ilmu ini ilmunya Allah. Ilmunya Allah tidak akan pernah habis-habis. Sebagaimana judul blog saya dan pengantarnya.
Ilmunya Allah banyak. Bilangannya besar. Semoga saya tidak salah, tetapi bilangan kecil tidak berlaku bagi Allah. Bilangan kecil hanya berlaku bagi manusia.

Makanya, jumlah orang menang selalu jauh lebih kecil daripada jumlah orang kalah. Jumlah orang yang menghadiri pengajian selalu lebih kecil daripada yang tidak. Jumlah orang kaya selalu lebih kecil daripada orang miskin, seperti pula ditegaskan oleh Hukum Pareto, bahwa 80% uang yang beredar dikuasai oleh 20% orang saja.

Sungguh Allah Maha Pengasih dan Pemurah. Ketika kita bicara tentang nikmat, yang berlakupun adalah bilangan besar. Nikmatnya Allah sungguh besar. Saking besarnya, tidak ada otak seencer apapun, tidak ada prosesor secepat apapun, yang mampu menghitungnya. Kalau tidak percaya, coba saja! Coba saja hitung, berapa liter beras yang sudah kita makan selama hidup kita? Berapa gallon air yang sudah kita minum? Berapa ekor ikan yang sudah kita santap? Berapa ini dan berapa itu?

Maka, apa pula yang bisa membuat kita kufur nikmat?

Terkadang kita tak sadar. Bahwa nikmat Allah ada di mana-mana. Tak seinci tanah di dunia di mana kita bisa mengingkari bahwa di situ tidak ada nikmat Allah. Makanya jangan pandang enteng. Jangan menyia-nyiakan apapun. Apalagi menganggap sesuatu tiada berguna.

Coba pikir. Di zaman Rasulullah SAW, manusia apa kenal ban mobil? Tapi Allah sudah menyediakan bahan bakunya berupa pohon karet.

Pikir lagi. Di zaman Rasulullah SAW, manusia apa kenal minyak tanah, bensin, gas, atau bahan bakar lainnya? Tapi Allah sudah menyediakan semuanya di perut bumi.

Masih, pikir lagi. Di zaman Rasulullah SAW, manusia apa kenal komputer? Tapi Allah sudah menyediakan bahan baku hardware dan brainware yang bisa membuat software.

Bukankah ini nikmat?

Sungguh, sejarah bisa berulang. Sesuatu yang saat ini kita pandang enteng, pandang sebelah mata, bisa jadi di generasi ke tujuh kita malah jadi bahan vital. Ketika Allah sudah menyediakan bahan bakunya, sungguh keterlaluan bila kita masih juga malas memikirkan bagaimana menggunakannya.

*******

Tulisan ini adalah ilham ba’da Isya. Distimulasi oleh ustadz Mansur Salim (Semoga Allah memberi berkah berlimpah ruah kepada beliau. Beliau sudah nyaris tidak melihat mata lahirnya. Tapi mata hatinya, Subhanallah! Tembus pandang atas berbagai hikmah kehidupan). Beliau tiba-tiba menelepon saya katanya mau berkunjung ke mesjid kompleks kami yang baru jadi dan mau kasih ceramah kalau ada yang mau dengar.

Begitulah kalau Allah yang punya ilmu, Allah memasukkan dalam hati seseorang, Allah menggerakkan bibir seseorang untuk mengajarkan ilmunya, maka terlalu banyak hikmah yang harus dipetik.

Tulisan ini rasanya terlalu ringkas untuk menulis semua hikmah yang terpetik. Tapi biarlah. Sesedikit apapun yang bisa saya rekam di sini, yang penting esensinya.

Paling tidak ada 2 esensi tersebut.

Satu. Bahwasanya Allah tidak menciptakan sesuatu sia-sia. Apapun ada tujuannya. Apapun ada gunanya. Kalau tidak ketahuan sekarang, mungkin nanti. Kalau bukan oleh kita, mungkin oleh anak cucu kita. Makanya kita jangan memandang enteng.

Dua. Bahwasanya sebagai muslim yang bersyukur, seharusnya kita hidup di bawah semangat ‘Para Penemu’ (the Inventors). Kita seharusnya menguasai penemuan-penemuan besar dalam bidang apapun dalam kehidupan ini. Rutinitas hidup kita harusnya adalah rutinitas ilmiah. Kalau salah dicatat sebagai kesalahan dan tidak diulang lagi. Langkah berikutnya adalah mencari jalan lain yang tidak salah. Jalan lain yang benar. Bukankah dengan cara ini kita akan bertemu dengan kebenaran pada akhirnya? Kebenaran yang tidak lain adalah penemuan? Bukankah ini yang disebut dengan metode ilmiah?

Dua ini terdengar sedikit atau kecil. Tapi bila kita amalkan, dahsyat! Besar!

Tunggu apa lagi?

Tidak ada komentar: