07 Desember, 2007

The Chef of Words


Belakangan ini, setelah bertemu banyak orang, saya jadi berpikir, kita ini sebenarnya seperti seorang chef, tukang masak.

Anda tau, chef itu dikatakan semakin profesional apabila ia banyak tau resep masakan, hasil masakannya enak, dan terpenting, penyajiannya juga bagus. Masalah penyajian jangan dipandang enteng. Adakalanya kita tidak terlalu bernafsu sama jenis makanan tertentu, tapi karena oleh chef-nya disajikan dengan cara yang bagus, kita jadi ditunggangi nafsu.

Lha, sekarang kenapa kita ini seperti seorang chef?

Betul. Hanya saja bukan chef masakan, tapi chef of words. ‘Tukang masak’ kata-kata.

Begini, kata-kata yang keluar dari mulut seseorang, sama dengan masakan yang dibuat oleh chef, efeknya hanya dua, membawa rasa enak (nikmat), atau sebaliknya, tidak enak. Makanya saya bilang kita itu persis seperti seorang chef.

Sebagai seorang chef of words, enak tidaknya kata-kata yang anda keluarkan bergantung pada beberapa hal.
Satu, ingredients atau bahan-bahan yang anda gunakan untuk menyusun kata-kata. Di sini, akan terlihat beda antara chef of words yang berilmu (baca: berwawasan) tinggi, dengan chef of words yang sebaliknya.

Saya kasih contoh. Biar mudah membedakannya, contohnya tidak jauh-jauh dari makanan. Bedakan perasaan yang ditimbulkan oleh dua kalimat berikut:

"Makanan ini enak"

dengan

"Makanan ini meninggalakan kesan mendalam di lidah"

Dua kalimat di atas sama dan sebangun tujuannya. Intinya makanan yang di sajikan berasa enak. Tapi berhubung ilmu chef of words yang mengeluarkan kalimat kedua lebih tinggi, maka perasaan yang ditimbulkan oleh kalimat itu juga beda.

Poin kedua yang mempengaruhi enak tidaknya hasil racikan chef of words adalah cara memasaknya, atau dalam hal ini, intonasi pengungkapannya. Dalam pergaulan lisan, tinggi rendah suara, penekanan terhadap kata, tiada lain adalah cara masak dari sang chef. Dalam ragam bahasa tulisan, variasi tulisan atau tanda baca adalah cara masaknya. Bandingkan lagi kalimat-kalimat berikut:

"Pendapatku enak."

dengan

"Pendapatku, ENAK!"

Anda bisa tangkap bedanya, kan?

Poin terakhir yang menjadi kunci enak tidaknya masakan sang chef adalah penyajian. Dalam hal ini, pemilihan kata yang tepat, sesuai dengan kondisi dan situasi, bisa dianalogikan sama dengan penyajian. Ini mirip dengan poin satu. Kalau di poin satu, wawasan menentukan berapa banyak pilihan kata yang dimiliki oleh sang chef. Di poin ini, seberapa lihai sang chef memilih di kata yang tepat di antara sekian banyak pilihan kata yang ia punyai.

Bedakan kesan yang ditimbulkan oleh dua kalimat berikut:

"Maaf bu, bakso habis!"

Dengan

"Maaf bu, kami kehabisan bahan. Bagaimana kalau besok ibu datang lebih cepat, saya janji kami tidak akan kehabisan bahan."

Kalimat pertama to the point. Kalimat kedua, tujuannya sama, tapi kesan yang ditimbulkan beda.

Mungkin masih banyak faktor yang mempengaruhi enak tidaknya perasaan yang ditimbulkan oleh kata-kata yang keluar dari mulut chef of words. Paling tidak, tulisan ini untuk membuka pikiran bahwa kata-kata yang keluar dari mulut kita merupakan sebuah produk, kita adalah produsen, dan pendengar kita adalah konsumen.

Prinsip ini semoga menyadarkan. Tidak ubahnya dunia bisnis, sebagai produsen kita tentu berharap punya banyak konsumen. Dengan kata lain kita berharap orang senang bergaul dengan kita akibat enaknya perasaan yang ditimbulkan oleh kata-kata yang keluar dari mulut kita.

Sekarang pilihan ada di tangan kita. Di tangan anda sebagai the chef of words. Anda mau jadi chef of words amatiran, atau mau jadi seorang professional? Up to you!

Tidak ada komentar: